Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]

Vihara Budi Darma yang terletak di Jalan Gusti Situt Singkawang yang merupakan lokasi pelemparan tiga bom molotov oleh orang tak dikenal September tahun lalu.


Saya masih menyimpan kenangan saat berjalan bersama ayah. Tepat 13  tahun yang lalu. Ketika itu usiaku genap berumur enam tahun.
            Pagi itu, di sebuah jalan tanah berbatuan. Sebuah jalan utama antar desa di Kelurahan Sedau (Singkawang Selatan-Kalimantan Barat), tepatnya desa Teluk Karang. Ayahku mengayuh sepeda dan aku duduk di belakang sambil memegang erat pinggul ayah. Dengan kaki terikat karet ban dalam sepeda bekas di badan utama sepeda. Kata ayahku, agar kaki mungilku tidak terserempet ban sepeda atau juga rantainya.
            Aku menikmati perjalanan. Di kanan kiri, aku melihat berbagai perpohonan hijau. Ada rumah-rumah warga yang jaraknya berjauhan satu sama lain. Tapi  ada juga beberapa rumah yang berdempetan. Dalam kondisi jalan yang masih diselimuti bebatuan dan tanah, sesekali sepeda kami melompat tersandung batu. Akibatnya, aku merasa sedikit terbang namun akhirnya merasa sakit di bagian pantat karena tersandung besi yang kududuki. Sementara ayahku tetap mengayuh sepedanya. Kali ini ia lebih berhati-hati memperhatikan kondisi jalan. Mungkin agar aku tidak terlalu sering tersentak di belakang.
            Setelah menyusuri jalan dengan jarak kurang lebih 2,5 kilometer, akhirnya ayahku memelankan sepedanya. Raungan kendaraan terdengar jelas saat melewati jalan raya beberapa meter di depan ku. Di tempat yang kupijaki ini, aku melihat rumah warga lebih menumpuk.
Aku belum banyak tahu tentang tempat sekarang aku berdiri. Di rumah, sehari sebelum kami berjalan ini ayah sempat mengajak aku untuk pergi ke Singkawang. Jujur saja, saat itu aku belum tahu apa itu Singkawang. Mendengarnya saja aku baru pertama kali saat itu. Mungkin karena aku sudah terlalu lama di dalam desa. Bermain hanya di rumah dan sekitaran desa.
            Matahari semakin meninggi. Sinarnya bertambah terang. Di persimpangan tiga terdapat sebuah Masjid. Ayahku menggiring sepedanya dan aku membuntutinya. Lalu ayah menyandarkan sepada di samping masjid itu. “Saya nitip kerete ye long, maok ke Singkawang lok,” kata ayahku dengan bahasa melayu kepada seorang lelaki yang duduk di teras rumahnya tepat di samping masjid. Lelaki itu tampak sedikit lebih tua dari ayahku. “Aok sile be,”sahut lelaki itu mempersilahkan.
            Kemudian perjalanan kami dilanjutkan. Aku dan ayahku menaiki oplet yang sejak tadi terhenti di tepi jalan raya. Oplet adalah mobil sejenis angkot jika di Jakarta. Ketika itu oplet memang menjadi alat transportasi utama masyarakat untuk berpergian. Waktu itu belum ada sepeda motor seperti sekarang. Hanya beberapa motor aktik yang terlihat ketika itu. Warga yang memiliki motor pun sangat sedikit, bahkan jumlahnya bisa dihitung dengan  jari. Hanya orang-orang kaya dan konglomeratlah yang punya kuda besi itu.
            Memandangi luar jendela angkot sangat mengasikkan. Bahkan aku merasa terhibur di perjalanan itu. Aku bebas melihat ruko-ruko sebelah kiri dan kanan. Ada yang berjaualan nasi, beberapa orang duduk sambil ngopi di warung-warung. Sesekali aku melihat Masjid, kadang juga aku melihat klenteng Tionghoa. Klenteng lebih banyak ku temui dibanding Masjid.
            Usai tiga puluh menit dalam angkot, akhirnya oplet berhenti di sebuah terminal kota. Kami pun bergegas turun dari angkot. “Itoklah die nong Kota Singkawang,”kata ayahku memberi tahu. Nong dalam bahasa melayu adalah sapaan untuk anak tersayang. Sambil berjalan aku terus memandang sekelilingku, sedang tanganku diiringi oleh tangan ayah. Aku terus memperhatikan satu demi satu bangunan di sekeliling ku. Ada banyak ruko-ruko tua yang berbaris. Ruko-ruko berisi jualan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Dapat aku pastikan bahwa mayoritas pemilik ruko itu adalah orang tionghoa. Karena aku melihat ada tulisan-tulisan china di depan tokonya.
            Hari itu aku diajak berkeliling pasar oleh ayahku untuk berbelanja pakaian baru. Kemudian ia juga sempat membawaku ke salah satu Game station di tengah-tengah pasar.
            Mungkin ini adalah pengalaman yang dapat aku ceritakan saat aku pertama kali tahu tentang kota ku. Seiring berjalannya waktu, wawasanku terkait kota kelahiranku semakin meluas.   

Kota Singkawang merupakan salah satu kota yang terdapat di Kalimantan Barat. Secara geografis, letaknya 145 km sebelah utara Kota Pontianak, sebagai Ibukota Provinsi Kalbar (Kalimantan Barat).
Sebagai kota yang masih berada dalam garis khatulistiwa, tak heran jika cuaca di kota ini agak sedikit lebih panas di banding kota lain yang ada di Nusantara.
Sampai saat ini, secara administratif kota Singkawang terbagi dalam lima kecamatan. Yaitu kecamatan Singkawang Tengah, Kecamatan Singkawang Barat, Kec. Singkawang Timur, Kec. Singkawang Utara dan Kec. Selatan.
Kota yang memiliki luas sekitar 504m kubik ini, di sebelah utara berbatas dengan Kabupaten Sambas. Sebelah Timur dan Selatan bersekatan dengan Kabupaten Bengkayang. Sedangkan untuk wilayah baratnya, perariran kota Singkawang bersanding dengan Laut Natuna.
Menurut sejarah, pada awalnya kota Singkawang adalah bagian dari wilayah Kesultanan Sambas. Pada mulanya keberadaan desa ini merupakan tempat persinggahan bagi pedagang dan penambang emas di Menterado, Bengkayang. Mayoritas para penambang dan pedagang ini adalah etnis China yang berasal dari Tiongkok, Cnina. Istilah Kota Singkawang dikenal oleh mereka dengan sebutan San Keuw Jong. Sebutan ini didasari karena pendapat di masyarakat para pedagang dan penambang emas bahwa Singkawang berbatasan langsung dengan Laut Natuna. Serta terdapat pegunungan yang bermata air (sungai) mengalir menuju ke laut. Karena hal tersebut dan semakin berkembangnya wilayah Singkawang hingga pada akhirnya membuat para penambang dan pedagang ini menetap dan banyak dari mereka yang beralih profesi menjadi petani dan sebagian lagi menjadi pedagang.
Kota Singkawang sebelumnya merupakan bagian serta menjadi Ibukota wilayah Kabupaten Sambas berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959. Status ini berlangsung hingga tahun 1981 dimana berdasarkan PP Nomor 49 Tahun 1981 kota ini dibentuk menjadi Kota Administratif Singkawang. Berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 menyebabkan Kota Singkawang yang sebelumnya merupakan Ibukota Kabupaten Sambas beralih menjadi bagian dari Kabupaten Bengkayang yang dimekarkan dari Kabupaten Sambas.
Keinginan masyarakat Singkawang untuk memperjuangkan status otonom bagi kota ini membuat seluruh elemen masyarakat ikut berjuang seperti KPS, GPPKS, Kekertis, Gemmas, Tim Sukses, LKMD dan lain sebagainya serta dukungan dari Pemerintah Kabupaten Sambas yang akhirnya setelah melalui jalan panjang dan pengkajian. Maka dikeluarkan Surat Keputusan Bersama oleh Bupati Sambas (No.257 Tahun 1999) dan oleh Bupati Bengkayang (No.1a tahun 1999). Akhirnya pada tanggal 17 Oktober 2001 Kota Singkawang diresmikan menjadi kota otonom oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2001. Data ini saya dapat melalui laman di salah satu blog di internet.
            Ketika saya menginjak kelas 3 sekolah dasar di SDN 04 Sinkawang Selatan, saya mulai memperhatikan sekeliling saya. Di dalam kelas ada beberapa teman yang beretnis melayu, dan sebagian beretnis china. Begitu juga di kelas-kelas lain, etnis melayu dan china menjadi mayoritas. Walaupun ada sebagian yang mungkin beretnis jawa, sunda dan bugis. Tetapi jumlah mereka dapat dihitung dengan jari.
            Sistem pertemanan ketika di SD saya dulu cenderung berkelompok. Etnis melayu hanya berteman dengan sesama melayu. Begitu juga sebaliknya, etnis china pun mengelompokkan diri sesama etnis china. Sikap etnosentris pada anak-anak sangat kental. Membangga-banggakan suku pribadi dengan menganggap rendah suku yang lain sangat jelas terlihat. Sehingga tidak jarang di SD saya dulu terjadi perkelahian antar kubu berdasar etnis. Namun, tidak semua anak memeliki sikap seperti itu. Ada sebagian anak SD ketika itu yang membaur dengan anak lain yang berbeda etnis.
            Mayoritas penduduk di Kota Singkawang beretnis China. Apalagi di pusat kotanya, dominasi penduduk beretnis china dapat terlihat dengan ruko-ruko yang berjajar di tepian jalan. Lampion yang bergantungan di langit-langit teras rumah mereka turut menjelaskan bahwa mereka lebih ramai tinggal di kota ini.
            Selain etnis china, di kota ini juga terdapat penduduk yang bersuku melayu. jumlah mereka dapat dinomor duakan. Masyarakat melayu di Kota Singkawang hampir semuanya memeluk agama Islam. Mereka cenderung tinggal di daerah pesisir. Karena perkerjaan mereka sebagai nelayan.
            Kota Singkawang disebut sebagai kota seribu kelenteng. Hal ini dikarenakan banyaknya kelenteng yang berdiri di wilayah kota ini. Populasi etnis china mendominasi di kota ini. Tak hayal banyak rumah ibadah etnis china (klenteng) yang dapat kita ketemui sepanjang jalanan kota ini.
            Dominasi jumlah penduduk etnis china juga mejadikan kota singkawang dijuluki sebagai kota amoy. Istilah amoy merupakan sebutan bagi wanita remaja etnis china. Biasanya orang-orang dari luar kota Singkawang yang berkunjung ke kota ini akan selalu mengingat amoy yang mereka temui.
            Aku dilahirkan pada masa orde baru. Ketika itu masa pemerintahan presiden Soeharto digulingkan. Tahun sembilan delapan tepatnya. Ketika itu sering terjadi kericuhan diberbagai wilayah nusantara. Seperti yang pernah aku dengar dari berbagai cerita dari para orang tua di desaku. Kalimantan barat sempat diwarnai konflik antar etnis di berbagai wilayahnya. Termasuklah wilayah Kota Singkawang. Yaitu antara, Dayak dan Madura serta Melayu dan Madura. Tidak sedikit korban yang meregang nyawa. Konflik memperlihatkan adegan pemotongan kepala, dimana anak-anak kecil tidak berdosa dibunuh. Pembakaran rumah-rumah dan pengusiran tanpa ada perikemanusiaan.
Saya tidak tahu apa yang menyebabkan konflik ini terjadi. Setiap latar belakang memiliki versinya masing-masing.
            19 tahun berlalu. Kini Singkawang berkembang dengan pesatnya. Setelah konflik selesai dan masing-masing pihak meredam. Kehidupan di Kota Singkawang penuh dengan kedamaian. Toleransi antar beragama dan antaretnis terajut kuat.
            Setiap perayaan tahun baru imlek, Singkawang merupakan salah satu wilayah termeriah di Nusantara. Hal ini senada dengan jumlah penduduknya yang mayoritas beretnis china.
            Perayaan imlek di Kota Singkawang selalu dimeriahkan dengan berbagai macam festival. Di antaranya ada festival lampion, festifal cap go meh, dan sebagainya. Jelang perayaannya pemerintah kota Singkawang akan memasang lampion-lampion di sepanjang jalanan kota. Rumah-rumah warga yang yang merayakan turut dipenuhi bola berwarna merah itu.
            Atraksi tatung merupakan even yang terkenal di kota singkawang ketika perayaan cap go meh. Penonton atraksi tersebut tidak hanya dari etnis china, bahkan ada juga dari etnis lain yang meskipun berbeda keyakinan. Festival perayaan selalu berjalan lancar setiap tahunnya. Tidak pernah terjadi kericuhan yang berdalih ketidaksukaan dengan perbedaan budaya. Tidak pernah terjadi pertikaian ketika festival itu diselenggarakan. Hal ini terjadi karena masing-masing pihak menghargai budaya suku lain dan dapat menerima perbedaan.
            Begitu juga sebalik, ketika umat muslim di kota ini melakukan sebuah perayaan bernuansa agama. Misalnya perayaan malam takbiran keliling menjelang lebaran. Setiap tahunnya, perayaan malam takbiran selalu dilakukan dengan mengelilingi jalanan kota. Umat muslim mengumandangkan takbir dengan berarak-arakan dengan mobil yang dihias semenarik mungkin. Setiap malam perayaannya berjalan dengan lancar. Dimana umat non muslim menghargai malam-malam perayaannya. Mereka menyambut hangat karena masing-masing pihak mengartikan secara positif arti keberagaman.
            Kedamaiaan  terjalin baik di kota ini. Dalam ranah politik misalnya, ketika pasangan calon daerah melakukan kampanye maka kita dapat melihat pendukung pasangan tersebut menyatu dalam keberagaman. Baik itu keberagaaman kelompok, agama, suku dan ras.
            Tepat pada tanggal 14 September 2016 kabar menggemparkan datang dari kota Singkawang. Vihara Budi Darma yang terletak di jalan Gusti Situt dilempar tiga bom molotov. Berita tersebut saya baca melalui surat kabar, berita online, bahkan sempat masuk berita stasiun televisi nasional.
            Kronologis peristiwa tersebut seperti yang diutarakan pembina vihara, Kim Liong bahwa pelemparan tersebut terjadi sekita pukul 02:30 WIB. Ketika itu vihara Budi darma atau nama lainnya Kwan Im Kiung dalam kondisi kosong. Kejadian tersebut baru diketahui penjaga dan pembina vihara, ketika dibuka kembali untuk beribadah.
           
            Lokasi pelemparan tepat mengenai tembok di bagian samping belakang vihara. Bekas ledakan tergambar jelas di foto  berita tersebut. Ada bercak-bercak hitam akibat ledakan yang membekas di tembok.  Meskipun ledakan tersebut kecil namun dapat mengusik ketenangan warga di kota Singkawang. Tidak ada korban jiwa dalam pelemparan bom molotov tersebut.
            Setelah peristiwa tersebut diketahui, pihak vihara langsung melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Kemudian tempat kejadian perkara langsung diamankan polisi dan juga ada pemadam kebakaran yang memastikan bahwa lokasi aman dari kebakaran. "Semua bekas bom sudah diamankan pemadam kebakaran dan polisi. Sekarang sudah aman. Tidak ada masalah. Masyarakat juga tetap ibadah seperti biasa. Tidak ada yang merasa terganggu. Kami terus awasi juga," tutur Kim Liong.
            Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Suhadi SW, mengungkapkan bom molotov dilempar oleh dua orang.
"Saksi mata menuturkan, pelaku sebanyak dua orang dengan menggunakan sepeda motor, dan melempar botol yang diduga bom molotov," kata Suhadi, seperti yang saya kutip dari laman Tribunsnews.com Selasa, 15 November 2016 10:27.
Menanggapi peristiwa tersebut, Polres Singkawang langsung bergerak cepat. Polres Singkawang sudah melakukan olah tempat kejadian perkara dan memintai keterangan sejumlah saksi.
"Dari hasil olah tempat kejadian perkara yang dilakukan Kepolisian Singkawang, di lokasi ditemukan pecahan kaca yang diduga dari botol. Ada kain warna merah dan ada bau minyak tanah. Semuanya itu diduga sebagai bahan bom molotov," imbuh Suhadi.
Ia menegaskan polisi masih mengejar dua orang tersebut. Bahkan pihaknya langsung membentuk tim khusus.
"Kami telah membentuk tim khusus di bawah pimpinan Kasat Reskrim untuk mengejar dan mengungkap siapa pelaku pelemparan," ujar Suhadi.
            Kemudian menanggapi peristiwa tersebut, Kapolres Singkawang, AKBP Sandi Alfadien Mustofa, menuturkan patroli dilakukan di sejumlah tempat ibdah pasca pelemparan bom molotov di depan Vihara Budi Dharma. "Peningkatan pengamanan sebenarnya sudah dilakukan dari beberapa waktu lalu. Termasuk tempat-tempat ibadah itu menjadi salah satu yang dipatroli," ujar Sandi Alfadien sebagaimana dikutip dari laman Tribunsnews.com sehari pasca ledakan.
Patroli akan digelar di seluruh jajaran Polsek. Razia pemeriksaan kendaraan akan digelar di titik-titik rawan.
"Kami juga meminta pengamanan swakarsa untuk meningkatkan kewaspadaan dan keamanan," ujarnya.
Sandi mengatakan, polisi masih melakukan penyelidikan terkait kejadian ini. "Kami belum bisa katakan itu molotov, karena itu botol yang diisi minyak dan memang sempat keluar percikan api. Tidak ada ledakan," tegasnya.
            Peristiwa pelemparan bom molotov mewarnai jelang pemilihan kepala daerah (pilkada) kota Singkawang. Apa maksud pelemparan tersebut. Apakah ada ulah oknum-oknum tertentuk demi keuntungan sendiri  jelang pilkada. Atau mungkin pelaku mencoba mengusik ketenangan di kota ini. Pertanyaan inilah yang belum terjawab di kepalaku.
            Sebagai warga Singkawang hati saya tergugah untuk mencari tahu siapa pelaku pelemparan bom tersebut. Setiap hari saya sempatkan mengecek berita terbaru terkait kejadian ini. Sampai pada akhirnya di tanah rantau ini (Pontianak) saya menemukan beberapa komentar-komentar di berita media. Salah satu berita dari tribunsnews.com (27/11/2016) menyebutkan seorang mantan teroris, Ali Fauzi, menegaskan bom molotov di Vihara Budi Dharma, Singkawang, bukan ulah teroris. Bom itu ulah segelintir oknum yang ingin memanfaatkan momentum pilkada.

"Itu bukan dari aksi teror kelompok radikal, tapi ulah dari segelintir oknum yang ingin mengacaukan Kota Singkawang," kata Ali Fauzi di Singkawang, Minggu (27/11).

Hal ini, menurutnya, beralasan karena Singkawang kota dengan etnis majemuk sehingga rawan konflik. Oleh karena itu, masyarakat Kalimantan Barat harus waspada.

"Semua etnis hampir ada. Mereka akan senang apabila terjadi konflik. Dan, mereka akan siap untuk menungganginya," Ali Fauzi menambahkan.
            Vihara Budi darma diresmikan oleh wakil gubernur Kalimantan Barat, Cristiandy dan juga Walikota Singkawang, awang Ishak pada tanggal 1 Maret 2015. Data ini saya dapat ketika saya berkesempatan mengunjungi Vihara ini sehari sebelum lebaran kemarin. Sejarah tersebut terukir diprasasti yang ditempel di dinding pagar vihara. Jika kita masuk dari gerbang vihara, kurang lebih lima meter tepatnya di dinding sebelah kiri prasasti tersebut diabadikan. Ada tiga prasasti dari keramik yang menarasikan peresmian vihara tersebut.
            Saya sempat bertanya pada penjaga tentang kondisi peribadatan di vihara ini terkait peristiwa bom molotov. Salah seorang penjaga mengaku saat ini kondisi aman seperti biasanya.
            Saya sempat melihat lokasi pelemparan bom molotov. Lokasinya dibelakang vihara tepat di tembok yang memagari vihara. Tapi kondisi bekas ledakan bom sudah diperbaiki.
            Seiring proses pengusutan yang didalami polisi, berbagai tokoh penting pun memberikan tanggapan. Meski tidak ada korban jiwa dan kerusakan berarti, Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya, meminta jajaran Polda Kalbar mengusut tuntas kasus ini.
            Kodam XII Tanjungpura juga menyikapi serius aksi pelemparan tiga molotov ke vihara ini. "Akan diperketat pengamanan dengan dilakukannya patroli. Baik bersama aparat Kepolisian dan juga dilakukan Prajurit TNI AD sendiri," kata Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XII Tanjungpura, Kol Inf Tri Rana Subekti.
            Bercermin dari aksi pelemparan molotov ini, Wali Kota Singkawang, Awang Ishak, melalui Teraju.id dalam headline (15/11/2016) meminta masyarakat untuk meningkatkan toleransi. Terlebih Kota Singkawang dikenal sebagai kota yang cukup toleran pada keragaman masyarakatnya.
"Mari bersama menjaga keamanan dan ketertiban Kota Singkawang ini. Terus tingkatkan toleransi antarumat beragama. Karena Singkawang ini merupakan kota bertoleransi ketiga nasional," kata Awang.
Ia juga mengatakan perlunya kembali meningkatkan keamanan di lingkungan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Sehingga bisa meminimalisir hal-hal yang dapat mengganggu ketertiban.
"Dengan ini perlu dibuat Siskamling di lingkungan-lingkungan masyarakat di Kota Singkawang. Tujuannya tentu untuk bersama menjaga keamanan lingkungan sekitar," ujarnya.
Keesokan harinya, 16 November 2016, melalui Tribunsnews.com Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Barat, M Zeet Hamdy Assovie mengutuk keras peristiwa pelemparan bom molotov di Vihara Budi Darma Kota Singkawang.
"Maksudnya apa? Dan kita tidak mau pihak aparat hukum mentolerir hal-hal seperti ini. Seperti kasus Juanda, kami tidak mau seperti itu," ungkapnya.
M Zeet yang juga Sekda Kalbar mengapresiasi Polri yang sedang mengejar pelaku dan berharap mudah-mudahan pelaku dapat tertangkap dan jangan dilepaskan lagi.
Peristiwa ini juga mendapatkan respon dari  pasangan calon walikota Kota Singkawang yang akan maju pada pilkada. Di antaranya ialah komentar dari pasangan nomor urut empat. Pasangan Andi Syarif dan Nurmansyah. Disampaikan melalui tribunsnews.com (15/11/2016) pasangan ini sangat mengutuk keras pelaku bom molotov di Vihara Budi Dharma (Kwan Im Kiung). Menurutnya ini sangat mencederai kerukunan yang telah terjalin di Kota Singkawang.
"Kami pasangan pertama yang mengutuk keras, kejahatan tidak terpuji apalagi jika ada kaitan ke Pilkada," ujar Andi Syarif, Selasa (15/11/2016).
Sementara itu pada tanggal yang sama, pasangan  Tjhai Chui Mie - Irwan  mengatakan selalu menyampaikan bahwa masyarakat kita Singkawang ini selalu harmonis. Tentu saja ini menurutnya untuk menuju kota Singkawang semakin maju dan berkembang. (Tribunsnews.com)
"Saya selalu katakan Keluarga besar Kota Singkawang untuk harmonis, karena jika suatu keluarga harmonis maka akan mudah mencari rejeki. Begitu pula Kota Singkawang, jika harmonis tentu akan mudah untuk maju dan menuju Singkawang Hebat,"
Dari berbagai tanggapan tokoh-tokoh penting, suatu pesan yang perlu digaris bawahi adalah supaya masyarakat jangan mudah terprovokasi dalam peristiwa ini. Masyarakat Kalbar khususnya Singkawang diharapkan bisa mengontrol diri dan menyikapi secara positif teror tersebut.
Hari ini hari sabtu, 24 Juni 2017. Tepatnya satu hari sebelum lebaran Idul Fitri 1438 H. Aku berkunjung ke Vihara Budi Dharma ditemani Maolio, teman sekelas ku. Siang itu menunjukkan pukul 14:00 WIB. Kondisi kota singkawang agak ramai, apalagi di pasarnya. Banyak masyarakat yang berbelanja kebutuhan rumah tangganya masing-masing.
Kami berdua mulai memasuki gerbang Vihara Budi darma yang terletak di kawasan pasar di antara deretan ruko-ruko china. Masyarakat dengan berbagai aktivitas terlihat sibuk dengan urusan pribadi. Ada yang berjualan, supir angkot, sampai tukang parkir.
Derap langkah menuju ke dalam vihara sengaja agak dipelankan. Melihat banyak orang-orang china yang tampak sibuk dengan proses pribadatannya. Kami memelankan langkah sembari menghormati mereka, sambil melihat lihat kiri kanan. Vihara yang terletak di jalan Gusti Situt Kota Singkawang memang baru selesai di renovasi tahun lalu. Tak heran jika warna bangunnya begitu indah. Warna merah mencolok dengan lis-lis kuning bercampur hijau memang identik dengan etnis china. Setiap sudut selalu kami temui patung naga. Tidak hanya di sudut atap, tetapi ada juga terdapat di langit langit vihara.
Vihara itu dikelilingi pagar berupa tembok, tingginya sekitar dua meter lebih. Warna tembok didominasi kuning dipadu lis merah. Letak vihara agak masuk kedalam dari gerbang, jaraknya sekitar belasan meter. Beberapa meter di depan vihara terdapat sebuah menara vihara dengan corak kecinaan. Berbentuk tabung yang di dalamnya ada api yang menyala. Sehingga asap selalu mengepul menyelimuti menara itu. Beberapa orang china melakukan ritual pembakaran yang memang sudah menjadi rukun peribadatannya.
Tepat di depan teras vihara, kami melepas alas kaki. Kemudian melangkahkan kaki ke anak tangga yang mengantar ke teras. Di teras sebelah kiri terdapat penjaga vihara yang sedang duduk dengan aktivitasnya. Terlihat ia sedang menulis sesuatu di kertas yang bertumpuk. Lalu kami menghamirinya. “Permisi pak,” kata ku merendah. Penjaga itu tetap melanjutkan tulisannya. Ia seolah-olah tidak mendengar suaraku. Kemudian aku mengulangi perkataanku lagi, “Permisi pak, selamat siang,” . Pada kali ketiga, akhirnya ia sejenak menghentikan tulisannya. Kemudian menoleh ke arah kami. “ Iya ada apa,? Tanya nya. Lalu kami memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan kami ke Vihara.
Kami bermaksud ingin melihat-lihat vihara pak, dan menanya-nanya lebih jauh terkait sejarah vihara dan proses peribadatan di sini pak,” kataku sambil meyakinkannya. Kemudian terlihat beberapa penjaga lainya mendekati kami. Di antaranya ada Ibu-ibu yang berusia paruh baya dan seorang bapak-bapak dengan usia yang relatif sama.
Oh, iya silahkan kalo mau masuk ke dalam, lihat-lihatlah.” Sahut wanita paruh baya yang belum sempat kami tanya namanya. “iya silahkan aja, gak apa-apa. Kalo mau foto-foto juga ndak apa apa,” kata laki-laki tua penjaga vihara yang telah lama duduk tadi. Mereka mempersilahkan kami untuk melihat-lihat. Tidak ada larangan sedikitpun dari mereka. Hanya saja ketika kami meminta untuk ketersediaan salah satu penjaga untuk diwawancarai terkait sejarah vihara, mereka menolak. “saya tidak bisa wa, gak bisa bahasa indonesia,” tolak penjaga pertama. “kami juga gak terlalu faham wa dengan sejarahnya, soalnya yang tau cuma nenek moyang dan mereka udah mati wa. Kami takut kalo memberi info-info yang salah, “ jelas wanita penjaga dengan baju hitam sambil memegang stanggi yang tak henti mengeluarkan asap.
Meskipun kami tidak bisa mewawancarai mereka, tapi kami tetap diperbolehkan untuk masuk ke dalam vihara. Lalu kami berterimakasih kepada mereka, dan meminta izin untuk masuk kedalam.” Iya silahkan, masuk aja, sambil foto-foto juga gak apa-apa,”
Aroma stanggi yang memang sudah tercium sejak tadi bertambah menyengat ketika  kami perlahan masuk ke dalam. Terlihat beberapa orang china tengah melakukan ritual peribadatannya denga khusuk. Ada yang tengah membungkukkan kepala sembari memegang stanggi berasap di depan patung dewa kepercayaan mereka. Beberapa orang melakukan hal yang sama di patung yang berbeda di sebelahnya.
Kondisi di dalam vihara dipenuhi lilin merah dengan api menyala di atasnya. Lilin-lilin itu mengelilingi patung dewa. Letak patung dewa dibuat sedikit agak tinggi. Beberapa orang tampak memanjatkan doa dan harapan di hadapan patung dewa itu. Sedang gaharu selalu menyala yang digenggamnya dengan kedua belah tangannya.
Aku kembali menemui penjaganya lalu bertanya terkait peristiwa bom molotov yang pernah melukai vihara. “bu bagaimana peribadatan di vihara pasca ledakan yang sempat menggemparkan warga,? Tanya ku. “sebenarnya sekarang proses peribadatan kembali berjalan lancar seperti sebelum-sebelumnya,”terangnya.
Wanita penjaga lanjut menambahkan, dan kondisi vihara sedang aman-aman saja. Begitu juga dengan masyarakat, mereka tidak lagi merasa takut ketika hendak beribadat di sini. “semoga saja keamanan di sini selalu terjaga, dan jangan sampai kejadian seperti kemarin terulang kembali,” harapnya.
Lokasi pelemparan bom yang sempat melukai bangunan vihara terletak di belakang vihara. Dan sekarang bekas lemparan itu sudah kembali pulih.
Setelah setengah jam kami mengitari sekeliling vihara, akhirnya kami memohon izin untuk pulang kepada penjaga. Kami berterima kasih karena telah diperkenankan untuk melihat-lihat ke dalam vihara. Satu hal yang saya kagumkan adalah mereka tidak pernah menaruh rasa takut terhadap orang asing dengan agama yang berbeda untuk masuk ke dalam rumah ibadah mereka. Padahal sangat jelas ketika itu maolio sedang mengenakan baju gamis putih muslim, yang melambangkan bahwam kami adalah dua orang muslim.
Ada banyak bentuk toleransi antar umat beragama di Kota Singkawang. Tidak jauh-jauh, misalnya saja di kampung ku, Teluk Karang Kelurahan Sedau.
Malam itu di masjid Al-Muthalibin Rt.39 Rw.07 Teluk Karang melaksanakan sholat terawih seperti biasanya. Namun sedikit berbeda dengan terawih pada malam-malam lain. Malam ini merupakan malam ke 27 ramadhan. Setiap tahunnya di kampung saya mengadakan tradisi malam tujuh likur pada tanggal tersebut. Malam tujuh likur ialah tradisi turun-temurun masyarakat melayu dalam menyambut h-3 sebelum lebaran Idul Fitri.
Bulan bersinar terang meski tidak bundar sempurna. Warga berdatangan dengan membawa pasung. Pasung adalah makan has dalam tradisi ini. Bentuknya kerucut diselimuti daun pisang. Ada beberapa yang membawa seteko air kopi panas. Sholat isya dan terawih berjalan khusuk malam itu.
Selesai sholat terawih, warga didampingi tokoh agama dan ketua Rt memulai rangkaian kegiatan. Rangkaian pertama ialah khataman Al-Qur’an. Anak-anak dan remaja dewasa mengaji, mereka didampingi tokoh agama. Seiring berlangsungnya khataman Al-Qur’an, sebagian dari warga khususnya ibu-ibu menyiapkan kue yang mereka bawa tadi. Ada beberapa orang yang mulai berdatangan ke masjid setelah sempat pulang ke rumah ketika selesai terawih. Mereka datang dengan membawa kue, ada yang membawa teko berisi kopi panas.
Di antara warga yang datang, ada seorang warga beretnis china dengan wajah malu-malu membawa seteko kopi panas. Seorang etnis china itu merupakan teman salah seorang warga kampungku. Ia memang sudah akrab dengan masyarakat melayu di kampungku.
Ia perlahan masuk ke dalam masjid.”permisi,” memegang teko berisi kopi hangat yang dibawanya. Lalu ia pun disambut hangat oleh warga yang berada dalam masjid. Begitu juga denganku, saat itu saya terkejut di tengah-tengah obrolan dengan beberapa orang warga. Namun saya merasa kedatangannya ialah untuk memberikan kopi hangatnya.
Kemudian warga menerima kopi hangatnya. Beberapa warga mempersilahkannya untuk duduk terlebih dahulu sambil makan kue ditemani kopi hangat.
“nah makan kue lah lok, dudok lok yo,” tawar salah seorang jamaah. “maksih pak, ndak usah, saya buru-buru wa,” kata pria sipit itu dengan senyuman. Setelah meberikan kopi hangatnya untuk warga di masjid, ia berpamitan untuk pergi. “udah saya duluan, gak bisa lama-lama,” tuturnya sembari berjalan menuju pintu dengan badan agak merendah, sedang kedua  telapak tangannya menyatu dengan jari-jemari yang merapat. sebagai simbol non verbal permohona maaf sekaligus permisi.
Seperti itulah salah satu bentuk hubungan antar masyarkat. Meskipun berbeda agama, berbeda etnis dan berbeda budaya, keakraban antar sesama selalu terjaga. Keharmonisan dalam kehidupan dapat dirasakan ketika kita saling menghargai budaya masing-masing. Dengan tidak mempermasalahkan perbedaan merupakan salah satu cara hidup masyarakat plural tetap akur.
Peristiwa bom molotov di Singkawang semoga menjadi pelajaran agar masing-masing kita tidak mudah terprovokasi. Segala bentuk peristiwa yang mencoba memecah kedamaian hendaklah diperangi bersama-sama.
Semoga kejadian serupa tidak terulang kembali. Karena hal tersebut tidak hanya dapat merenggut nyawa, tetapi memiliki dampak yang sangat besar. Kerugian berupa materi, rugi dalam waktu dan sebagainya.

Sampai detik ini kehidupan masyarakat di Kota Singkawang berjalan harmonis. Toleransi umat beragama tercipta. Penduduk hidup rukun saling menghargai agama masing-masing.

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib