Vihara Budi Darma yang terletak di Jalan Gusti Situt Singkawang yang merupakan lokasi pelemparan tiga bom molotov oleh orang tak dikenal September tahun lalu. |
Saya masih menyimpan kenangan saat berjalan bersama ayah. Tepat 13 tahun yang lalu. Ketika itu usiaku genap
berumur enam tahun.
Pagi itu, di
sebuah jalan tanah berbatuan. Sebuah jalan utama antar desa di Kelurahan Sedau
(Singkawang Selatan-Kalimantan Barat), tepatnya desa Teluk Karang. Ayahku
mengayuh sepeda dan aku duduk di belakang sambil memegang erat pinggul ayah.
Dengan kaki terikat karet ban dalam sepeda bekas di badan utama sepeda. Kata
ayahku, agar kaki mungilku tidak terserempet ban sepeda atau juga rantainya.
Aku menikmati
perjalanan. Di kanan kiri, aku melihat berbagai perpohonan hijau. Ada
rumah-rumah warga yang jaraknya berjauhan satu sama lain. Tapi ada juga beberapa rumah yang berdempetan. Dalam
kondisi jalan yang masih diselimuti bebatuan dan tanah, sesekali sepeda kami
melompat tersandung batu. Akibatnya, aku merasa sedikit terbang namun akhirnya
merasa sakit di bagian pantat karena tersandung besi yang kududuki. Sementara
ayahku tetap mengayuh sepedanya. Kali ini ia lebih berhati-hati memperhatikan
kondisi jalan. Mungkin agar aku tidak terlalu sering tersentak di belakang.
Setelah menyusuri
jalan dengan jarak kurang lebih 2,5 kilometer, akhirnya ayahku memelankan
sepedanya. Raungan kendaraan terdengar jelas saat melewati jalan raya beberapa
meter di depan ku. Di tempat yang kupijaki ini, aku melihat rumah warga lebih
menumpuk.
Aku belum banyak tahu tentang tempat sekarang aku berdiri. Di
rumah, sehari sebelum kami berjalan ini ayah sempat mengajak aku untuk pergi ke
Singkawang. Jujur saja, saat itu aku belum tahu apa itu Singkawang.
Mendengarnya saja aku baru pertama kali saat itu. Mungkin karena aku sudah
terlalu lama di dalam desa. Bermain hanya di rumah dan sekitaran desa.
Matahari semakin
meninggi. Sinarnya bertambah terang. Di persimpangan tiga terdapat sebuah
Masjid. Ayahku menggiring sepedanya dan aku membuntutinya. Lalu ayah
menyandarkan sepada di samping masjid itu. “Saya nitip kerete ye long, maok ke
Singkawang lok,” kata ayahku dengan bahasa melayu kepada seorang lelaki yang
duduk di teras rumahnya tepat di samping masjid. Lelaki itu tampak sedikit
lebih tua dari ayahku. “Aok sile be,”sahut lelaki itu mempersilahkan.
Kemudian
perjalanan kami dilanjutkan. Aku dan ayahku menaiki oplet yang sejak tadi
terhenti di tepi jalan raya. Oplet adalah mobil sejenis angkot jika di Jakarta.
Ketika itu oplet memang menjadi alat transportasi utama masyarakat untuk
berpergian. Waktu itu belum ada sepeda motor seperti sekarang. Hanya beberapa
motor aktik yang terlihat ketika itu. Warga yang memiliki motor pun sangat
sedikit, bahkan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Hanya orang-orang kaya dan
konglomeratlah yang punya kuda besi itu.
Memandangi luar
jendela angkot sangat mengasikkan. Bahkan aku merasa terhibur di perjalanan
itu. Aku bebas melihat ruko-ruko sebelah kiri dan kanan. Ada yang berjaualan
nasi, beberapa orang duduk sambil ngopi di warung-warung. Sesekali aku melihat
Masjid, kadang juga aku melihat klenteng Tionghoa. Klenteng lebih banyak ku
temui dibanding Masjid.
Usai tiga puluh
menit dalam angkot, akhirnya oplet berhenti di sebuah terminal kota. Kami pun
bergegas turun dari angkot. “Itoklah die nong Kota Singkawang,”kata ayahku
memberi tahu. Nong dalam bahasa melayu adalah sapaan untuk anak tersayang.
Sambil berjalan aku terus memandang sekelilingku, sedang tanganku diiringi oleh
tangan ayah. Aku terus memperhatikan satu demi satu bangunan di sekeliling ku.
Ada banyak ruko-ruko tua yang berbaris. Ruko-ruko berisi jualan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Dapat aku pastikan bahwa mayoritas pemilik
ruko itu adalah orang tionghoa. Karena aku melihat ada tulisan-tulisan china di
depan tokonya.
Hari itu aku
diajak berkeliling pasar oleh ayahku untuk berbelanja pakaian baru. Kemudian ia
juga sempat membawaku ke salah satu Game station di tengah-tengah pasar.
Mungkin ini adalah
pengalaman yang dapat aku ceritakan saat aku pertama kali tahu tentang kota ku.
Seiring berjalannya waktu, wawasanku terkait kota kelahiranku semakin meluas.
Kota Singkawang merupakan salah satu kota yang terdapat di
Kalimantan Barat. Secara geografis, letaknya 145 km sebelah utara Kota
Pontianak, sebagai Ibukota Provinsi Kalbar (Kalimantan Barat).
Sebagai kota yang masih berada dalam garis khatulistiwa, tak heran
jika cuaca di kota ini agak sedikit lebih panas di banding kota lain yang ada
di Nusantara.
Sampai saat ini, secara administratif kota Singkawang terbagi dalam
lima kecamatan. Yaitu kecamatan Singkawang Tengah, Kecamatan Singkawang Barat,
Kec. Singkawang Timur, Kec. Singkawang Utara dan Kec. Selatan.
Kota yang memiliki luas sekitar 504m kubik ini, di sebelah utara
berbatas dengan Kabupaten Sambas. Sebelah Timur dan Selatan bersekatan dengan
Kabupaten Bengkayang. Sedangkan untuk wilayah baratnya, perariran kota
Singkawang bersanding dengan Laut Natuna.
Menurut sejarah, pada awalnya kota Singkawang adalah bagian dari
wilayah Kesultanan Sambas. Pada mulanya keberadaan desa ini merupakan tempat
persinggahan bagi pedagang dan penambang emas di Menterado, Bengkayang.
Mayoritas para penambang dan pedagang ini adalah etnis China yang berasal dari
Tiongkok, Cnina. Istilah Kota Singkawang dikenal oleh mereka dengan sebutan San
Keuw Jong. Sebutan ini didasari karena pendapat di masyarakat para pedagang dan
penambang emas bahwa Singkawang berbatasan langsung dengan Laut Natuna. Serta terdapat
pegunungan yang bermata air (sungai) mengalir menuju ke laut. Karena hal
tersebut dan semakin berkembangnya wilayah Singkawang hingga pada akhirnya
membuat para penambang dan pedagang ini menetap dan banyak dari mereka yang
beralih profesi menjadi petani dan sebagian lagi menjadi pedagang.
Kota Singkawang sebelumnya merupakan bagian serta menjadi Ibukota
wilayah Kabupaten Sambas berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959. Status
ini berlangsung hingga tahun 1981 dimana berdasarkan PP Nomor 49 Tahun 1981
kota ini dibentuk menjadi Kota Administratif Singkawang. Berlakunya
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 menyebabkan Kota Singkawang yang sebelumnya
merupakan Ibukota Kabupaten Sambas beralih menjadi bagian dari Kabupaten
Bengkayang yang dimekarkan dari Kabupaten Sambas.
Keinginan masyarakat Singkawang untuk memperjuangkan status otonom
bagi kota ini membuat seluruh elemen masyarakat ikut berjuang seperti KPS,
GPPKS, Kekertis, Gemmas, Tim Sukses, LKMD dan lain sebagainya serta dukungan
dari Pemerintah Kabupaten Sambas yang akhirnya setelah melalui jalan panjang
dan pengkajian. Maka dikeluarkan Surat Keputusan Bersama oleh Bupati Sambas
(No.257 Tahun 1999) dan oleh Bupati Bengkayang (No.1a tahun 1999). Akhirnya
pada tanggal 17 Oktober 2001 Kota Singkawang diresmikan menjadi kota otonom
oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2001. Data ini saya dapat melalui laman di salah
satu blog di internet.
Ketika saya
menginjak kelas 3 sekolah dasar di SDN 04 Sinkawang Selatan, saya mulai
memperhatikan sekeliling saya. Di dalam kelas ada beberapa teman yang beretnis
melayu, dan sebagian beretnis china. Begitu juga di kelas-kelas lain, etnis
melayu dan china menjadi mayoritas. Walaupun ada sebagian yang mungkin beretnis
jawa, sunda dan bugis. Tetapi jumlah mereka dapat dihitung dengan jari.
Sistem pertemanan
ketika di SD saya dulu cenderung berkelompok. Etnis melayu hanya berteman
dengan sesama melayu. Begitu juga sebaliknya, etnis china pun mengelompokkan
diri sesama etnis china. Sikap etnosentris pada anak-anak sangat kental.
Membangga-banggakan suku pribadi dengan menganggap rendah suku yang lain sangat
jelas terlihat. Sehingga tidak jarang di SD saya dulu terjadi perkelahian antar
kubu berdasar etnis. Namun, tidak semua anak memeliki sikap seperti itu. Ada
sebagian anak SD ketika itu yang membaur dengan anak lain yang berbeda etnis.
Mayoritas penduduk
di Kota Singkawang beretnis China. Apalagi di pusat kotanya, dominasi penduduk
beretnis china dapat terlihat dengan ruko-ruko yang berjajar di tepian jalan.
Lampion yang bergantungan di langit-langit teras rumah mereka turut menjelaskan
bahwa mereka lebih ramai tinggal di kota ini.
Selain etnis
china, di kota ini juga terdapat penduduk yang bersuku melayu. jumlah mereka
dapat dinomor duakan. Masyarakat melayu di Kota Singkawang hampir semuanya
memeluk agama Islam. Mereka cenderung tinggal di daerah pesisir. Karena
perkerjaan mereka sebagai nelayan.
Kota Singkawang
disebut sebagai kota seribu kelenteng. Hal ini dikarenakan banyaknya kelenteng
yang berdiri di wilayah kota ini. Populasi etnis china mendominasi di kota ini.
Tak hayal banyak rumah ibadah etnis china (klenteng) yang dapat kita ketemui
sepanjang jalanan kota ini.
Dominasi jumlah
penduduk etnis china juga mejadikan kota singkawang dijuluki sebagai kota amoy.
Istilah amoy merupakan sebutan bagi wanita remaja etnis china. Biasanya
orang-orang dari luar kota Singkawang yang berkunjung ke kota ini akan selalu
mengingat amoy yang mereka temui.
Aku dilahirkan
pada masa orde baru. Ketika itu masa pemerintahan presiden Soeharto
digulingkan. Tahun sembilan delapan tepatnya. Ketika itu sering terjadi
kericuhan diberbagai wilayah nusantara. Seperti yang pernah aku dengar dari
berbagai cerita dari para orang tua di desaku. Kalimantan barat sempat diwarnai
konflik antar etnis di berbagai wilayahnya. Termasuklah wilayah Kota
Singkawang. Yaitu antara, Dayak dan Madura serta Melayu dan Madura. Tidak
sedikit korban yang meregang nyawa. Konflik memperlihatkan adegan pemotongan
kepala, dimana anak-anak kecil tidak berdosa dibunuh. Pembakaran rumah-rumah
dan pengusiran tanpa ada perikemanusiaan.
Saya tidak tahu apa yang menyebabkan konflik ini terjadi. Setiap
latar belakang memiliki versinya masing-masing.
19 tahun berlalu.
Kini Singkawang berkembang dengan pesatnya. Setelah konflik selesai dan
masing-masing pihak meredam. Kehidupan di Kota Singkawang penuh dengan
kedamaian. Toleransi antar beragama dan antaretnis terajut kuat.
Setiap perayaan
tahun baru imlek, Singkawang merupakan salah satu wilayah termeriah di
Nusantara. Hal ini senada dengan jumlah penduduknya yang mayoritas beretnis
china.
Perayaan imlek di
Kota Singkawang selalu dimeriahkan dengan berbagai macam festival. Di antaranya
ada festival lampion, festifal cap go meh, dan sebagainya. Jelang perayaannya
pemerintah kota Singkawang akan memasang lampion-lampion di sepanjang jalanan
kota. Rumah-rumah warga yang yang merayakan turut dipenuhi bola berwarna merah
itu.
Atraksi tatung
merupakan even yang terkenal di kota singkawang ketika perayaan cap go meh.
Penonton atraksi tersebut tidak hanya dari etnis china, bahkan ada juga dari
etnis lain yang meskipun berbeda keyakinan. Festival perayaan selalu berjalan
lancar setiap tahunnya. Tidak pernah terjadi kericuhan yang berdalih
ketidaksukaan dengan perbedaan budaya. Tidak pernah terjadi pertikaian ketika
festival itu diselenggarakan. Hal ini terjadi karena masing-masing pihak
menghargai budaya suku lain dan dapat menerima perbedaan.
Begitu juga
sebalik, ketika umat muslim di kota ini melakukan sebuah perayaan bernuansa
agama. Misalnya perayaan malam takbiran keliling menjelang lebaran. Setiap
tahunnya, perayaan malam takbiran selalu dilakukan dengan mengelilingi jalanan
kota. Umat muslim mengumandangkan takbir dengan berarak-arakan dengan mobil
yang dihias semenarik mungkin. Setiap malam perayaannya berjalan dengan lancar.
Dimana umat non muslim menghargai malam-malam perayaannya. Mereka menyambut
hangat karena masing-masing pihak mengartikan secara positif arti keberagaman.
Kedamaiaan terjalin baik di kota ini. Dalam ranah politik
misalnya, ketika pasangan calon daerah melakukan kampanye maka kita dapat
melihat pendukung pasangan tersebut menyatu dalam keberagaman. Baik itu
keberagaaman kelompok, agama, suku dan ras.
Tepat pada tanggal
14 September 2016 kabar menggemparkan datang dari kota Singkawang. Vihara Budi
Darma yang terletak di jalan Gusti Situt dilempar tiga bom molotov. Berita
tersebut saya baca melalui surat kabar, berita online, bahkan sempat masuk
berita stasiun televisi nasional.
Kronologis
peristiwa tersebut seperti yang diutarakan pembina vihara, Kim Liong bahwa
pelemparan tersebut terjadi sekita pukul 02:30 WIB. Ketika itu vihara Budi
darma atau nama lainnya Kwan Im Kiung dalam kondisi kosong. Kejadian tersebut
baru diketahui penjaga dan pembina vihara, ketika dibuka kembali untuk
beribadah.
Lokasi pelemparan
tepat mengenai tembok di bagian samping belakang vihara. Bekas ledakan
tergambar jelas di foto berita tersebut.
Ada bercak-bercak hitam akibat ledakan yang membekas di tembok. Meskipun ledakan tersebut kecil namun dapat
mengusik ketenangan warga di kota Singkawang. Tidak ada korban jiwa dalam
pelemparan bom molotov tersebut.
Setelah peristiwa
tersebut diketahui, pihak vihara langsung melaporkan kejadian tersebut ke
polisi. Kemudian tempat kejadian perkara langsung diamankan polisi dan juga ada
pemadam kebakaran yang memastikan bahwa lokasi aman dari kebakaran. "Semua
bekas bom sudah diamankan pemadam kebakaran dan polisi. Sekarang sudah aman.
Tidak ada masalah. Masyarakat juga tetap ibadah seperti biasa. Tidak ada yang
merasa terganggu. Kami terus awasi juga," tutur Kim Liong.
Kabid Humas Polda
Kalbar, Kombes Suhadi SW, mengungkapkan bom molotov dilempar oleh dua orang.
"Saksi mata menuturkan, pelaku sebanyak dua orang dengan
menggunakan sepeda motor, dan melempar botol yang diduga bom molotov,"
kata Suhadi, seperti yang saya kutip dari laman Tribunsnews.com Selasa, 15
November 2016 10:27.
Menanggapi peristiwa tersebut, Polres Singkawang langsung bergerak
cepat. Polres Singkawang sudah melakukan olah tempat kejadian perkara dan
memintai keterangan sejumlah saksi.
"Dari hasil olah tempat kejadian perkara yang dilakukan
Kepolisian Singkawang, di lokasi ditemukan pecahan kaca yang diduga dari botol.
Ada kain warna merah dan ada bau minyak tanah. Semuanya itu diduga sebagai
bahan bom molotov," imbuh Suhadi.
Ia menegaskan polisi masih mengejar dua orang tersebut. Bahkan
pihaknya langsung membentuk tim khusus.
"Kami telah membentuk tim khusus di bawah pimpinan Kasat
Reskrim untuk mengejar dan mengungkap siapa pelaku pelemparan," ujar
Suhadi.
Kemudian
menanggapi peristiwa tersebut, Kapolres Singkawang, AKBP Sandi Alfadien
Mustofa, menuturkan patroli dilakukan di sejumlah tempat ibdah pasca pelemparan
bom molotov di depan Vihara Budi Dharma. "Peningkatan pengamanan
sebenarnya sudah dilakukan dari beberapa waktu lalu. Termasuk tempat-tempat
ibadah itu menjadi salah satu yang dipatroli," ujar Sandi Alfadien
sebagaimana dikutip dari laman Tribunsnews.com sehari pasca ledakan.
Patroli akan digelar di seluruh jajaran Polsek. Razia pemeriksaan
kendaraan akan digelar di titik-titik rawan.
"Kami juga meminta pengamanan swakarsa untuk meningkatkan
kewaspadaan dan keamanan," ujarnya.
Sandi mengatakan, polisi masih melakukan penyelidikan terkait
kejadian ini. "Kami belum bisa katakan itu molotov, karena itu botol yang
diisi minyak dan memang sempat keluar percikan api. Tidak ada ledakan,"
tegasnya.
Peristiwa
pelemparan bom molotov mewarnai jelang pemilihan kepala daerah (pilkada) kota
Singkawang. Apa maksud pelemparan tersebut. Apakah ada ulah oknum-oknum
tertentuk demi keuntungan sendiri jelang
pilkada. Atau mungkin pelaku mencoba mengusik ketenangan di kota ini. Pertanyaan
inilah yang belum terjawab di kepalaku.
Sebagai warga
Singkawang hati saya tergugah untuk mencari tahu siapa pelaku pelemparan bom
tersebut. Setiap hari saya sempatkan mengecek berita terbaru terkait kejadian
ini. Sampai pada akhirnya di tanah rantau ini (Pontianak) saya menemukan beberapa
komentar-komentar di berita media. Salah satu berita dari tribunsnews.com
(27/11/2016) menyebutkan seorang mantan teroris, Ali Fauzi, menegaskan bom
molotov di Vihara Budi Dharma, Singkawang, bukan ulah teroris. Bom itu ulah
segelintir oknum yang ingin memanfaatkan momentum pilkada.
"Itu bukan dari aksi teror kelompok radikal, tapi ulah dari
segelintir oknum yang ingin mengacaukan Kota Singkawang," kata Ali Fauzi
di Singkawang, Minggu (27/11).
Hal ini, menurutnya, beralasan karena Singkawang kota dengan etnis
majemuk sehingga rawan konflik. Oleh karena itu, masyarakat Kalimantan Barat
harus waspada.
"Semua etnis hampir ada. Mereka akan senang apabila terjadi
konflik. Dan, mereka akan siap untuk menungganginya," Ali Fauzi
menambahkan.
Vihara Budi darma
diresmikan oleh wakil gubernur Kalimantan Barat, Cristiandy dan juga Walikota
Singkawang, awang Ishak pada tanggal 1 Maret 2015. Data ini saya dapat ketika
saya berkesempatan mengunjungi Vihara ini sehari sebelum lebaran kemarin.
Sejarah tersebut terukir diprasasti yang ditempel di dinding pagar vihara. Jika
kita masuk dari gerbang vihara, kurang lebih lima meter tepatnya di dinding
sebelah kiri prasasti tersebut diabadikan. Ada tiga prasasti dari keramik yang
menarasikan peresmian vihara tersebut.
Saya sempat
bertanya pada penjaga tentang kondisi peribadatan di vihara ini terkait
peristiwa bom molotov. Salah seorang penjaga mengaku saat ini kondisi aman
seperti biasanya.
Saya sempat melihat
lokasi pelemparan bom molotov. Lokasinya dibelakang vihara tepat di tembok yang
memagari vihara. Tapi kondisi bekas ledakan bom sudah diperbaiki.
Seiring proses
pengusutan yang didalami polisi, berbagai tokoh penting pun memberikan
tanggapan. Meski tidak ada korban jiwa dan kerusakan berarti, Wakil Gubernur
Kalbar, Christiandy Sanjaya, meminta jajaran Polda Kalbar mengusut tuntas kasus
ini.
Kodam XII
Tanjungpura juga menyikapi serius aksi pelemparan tiga molotov ke vihara ini.
"Akan diperketat pengamanan dengan dilakukannya patroli. Baik bersama
aparat Kepolisian dan juga dilakukan Prajurit TNI AD sendiri," kata Kepala
Penerangan Kodam (Kapendam) XII Tanjungpura, Kol Inf Tri Rana Subekti.
Bercermin dari
aksi pelemparan molotov ini, Wali Kota Singkawang, Awang Ishak, melalui
Teraju.id dalam headline (15/11/2016) meminta masyarakat untuk meningkatkan
toleransi. Terlebih Kota Singkawang dikenal sebagai kota yang cukup toleran
pada keragaman masyarakatnya.
"Mari bersama menjaga keamanan dan ketertiban Kota Singkawang
ini. Terus tingkatkan toleransi antarumat beragama. Karena Singkawang ini
merupakan kota bertoleransi ketiga nasional," kata Awang.
Ia juga mengatakan perlunya kembali meningkatkan keamanan di
lingkungan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Sehingga bisa
meminimalisir hal-hal yang dapat mengganggu ketertiban.
"Dengan ini perlu dibuat Siskamling di lingkungan-lingkungan
masyarakat di Kota Singkawang. Tujuannya tentu untuk bersama menjaga keamanan
lingkungan sekitar," ujarnya.
Keesokan harinya, 16 November 2016, melalui Tribunsnews.com Ketua
Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Barat, M Zeet Hamdy
Assovie mengutuk keras peristiwa pelemparan bom molotov di Vihara Budi Darma
Kota Singkawang.
"Maksudnya apa? Dan kita tidak mau pihak aparat hukum
mentolerir hal-hal seperti ini. Seperti kasus Juanda, kami tidak mau seperti
itu," ungkapnya.
M Zeet yang juga Sekda Kalbar mengapresiasi Polri yang sedang
mengejar pelaku dan berharap mudah-mudahan pelaku dapat tertangkap dan jangan
dilepaskan lagi.
Peristiwa ini juga mendapatkan respon dari pasangan calon walikota Kota Singkawang yang
akan maju pada pilkada. Di antaranya ialah komentar dari pasangan nomor urut
empat. Pasangan Andi Syarif dan Nurmansyah. Disampaikan melalui tribunsnews.com
(15/11/2016) pasangan ini sangat mengutuk keras pelaku bom molotov di Vihara
Budi Dharma (Kwan Im Kiung). Menurutnya ini sangat mencederai kerukunan yang
telah terjalin di Kota Singkawang.
"Kami pasangan pertama yang mengutuk keras, kejahatan tidak
terpuji apalagi jika ada kaitan ke Pilkada," ujar Andi Syarif, Selasa
(15/11/2016).
Sementara itu pada tanggal yang sama, pasangan Tjhai Chui Mie - Irwan mengatakan selalu menyampaikan bahwa
masyarakat kita Singkawang ini selalu harmonis. Tentu saja ini menurutnya untuk
menuju kota Singkawang semakin maju dan berkembang. (Tribunsnews.com)
"Saya selalu katakan Keluarga besar Kota Singkawang untuk
harmonis, karena jika suatu keluarga harmonis maka akan mudah mencari rejeki.
Begitu pula Kota Singkawang, jika harmonis tentu akan mudah untuk maju dan
menuju Singkawang Hebat,"
Dari berbagai tanggapan tokoh-tokoh penting, suatu pesan yang perlu
digaris bawahi adalah supaya masyarakat jangan mudah terprovokasi dalam
peristiwa ini. Masyarakat Kalbar khususnya Singkawang diharapkan bisa
mengontrol diri dan menyikapi secara positif teror tersebut.
Hari ini hari sabtu, 24 Juni 2017. Tepatnya satu hari sebelum
lebaran Idul Fitri 1438 H. Aku berkunjung ke Vihara Budi Dharma ditemani
Maolio, teman sekelas ku. Siang itu menunjukkan pukul 14:00 WIB. Kondisi kota
singkawang agak ramai, apalagi di pasarnya. Banyak masyarakat yang berbelanja
kebutuhan rumah tangganya masing-masing.
Kami berdua mulai memasuki gerbang Vihara Budi darma yang terletak
di kawasan pasar di antara deretan ruko-ruko china. Masyarakat dengan berbagai
aktivitas terlihat sibuk dengan urusan pribadi. Ada yang berjualan, supir angkot,
sampai tukang parkir.
Derap langkah menuju ke dalam vihara sengaja agak dipelankan.
Melihat banyak orang-orang china yang tampak sibuk dengan proses pribadatannya.
Kami memelankan langkah sembari menghormati mereka, sambil melihat lihat kiri
kanan. Vihara yang terletak di jalan Gusti Situt Kota Singkawang memang baru
selesai di renovasi tahun lalu. Tak heran jika warna bangunnya begitu indah.
Warna merah mencolok dengan lis-lis kuning bercampur hijau memang identik
dengan etnis china. Setiap sudut selalu kami temui patung naga. Tidak hanya di
sudut atap, tetapi ada juga terdapat di langit langit vihara.
Vihara itu dikelilingi pagar berupa tembok, tingginya sekitar dua
meter lebih. Warna tembok didominasi kuning dipadu lis merah. Letak vihara agak
masuk kedalam dari gerbang, jaraknya sekitar belasan meter. Beberapa meter di
depan vihara terdapat sebuah menara vihara dengan corak kecinaan. Berbentuk
tabung yang di dalamnya ada api yang menyala. Sehingga asap selalu mengepul
menyelimuti menara itu. Beberapa orang china melakukan ritual pembakaran yang
memang sudah menjadi rukun peribadatannya.
Tepat di depan teras vihara, kami melepas alas kaki. Kemudian
melangkahkan kaki ke anak tangga yang mengantar ke teras. Di teras sebelah kiri
terdapat penjaga vihara yang sedang duduk dengan aktivitasnya. Terlihat ia
sedang menulis sesuatu di kertas yang bertumpuk. Lalu kami menghamirinya.
“Permisi pak,” kata ku merendah. Penjaga itu tetap melanjutkan tulisannya. Ia
seolah-olah tidak mendengar suaraku. Kemudian aku mengulangi perkataanku lagi,
“Permisi pak, selamat siang,” . Pada kali ketiga, akhirnya ia sejenak
menghentikan tulisannya. Kemudian menoleh ke arah kami. “ Iya ada apa,? Tanya
nya. Lalu kami memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan kami ke Vihara.
Kami bermaksud ingin melihat-lihat vihara pak, dan menanya-nanya
lebih jauh terkait sejarah vihara dan proses peribadatan di sini pak,” kataku
sambil meyakinkannya. Kemudian terlihat beberapa penjaga lainya mendekati kami.
Di antaranya ada Ibu-ibu yang berusia paruh baya dan seorang bapak-bapak dengan
usia yang relatif sama.
Oh, iya silahkan kalo mau masuk ke dalam, lihat-lihatlah.” Sahut
wanita paruh baya yang belum sempat kami tanya namanya. “iya silahkan aja, gak
apa-apa. Kalo mau foto-foto juga ndak apa apa,” kata laki-laki tua penjaga
vihara yang telah lama duduk tadi. Mereka mempersilahkan kami untuk
melihat-lihat. Tidak ada larangan sedikitpun dari mereka. Hanya saja ketika
kami meminta untuk ketersediaan salah satu penjaga untuk diwawancarai terkait
sejarah vihara, mereka menolak. “saya tidak bisa wa, gak bisa bahasa
indonesia,” tolak penjaga pertama. “kami juga gak terlalu faham wa dengan
sejarahnya, soalnya yang tau cuma nenek moyang dan mereka udah mati wa. Kami
takut kalo memberi info-info yang salah, “ jelas wanita penjaga dengan baju
hitam sambil memegang stanggi yang tak henti mengeluarkan asap.
Meskipun kami tidak bisa mewawancarai mereka, tapi kami tetap
diperbolehkan untuk masuk ke dalam vihara. Lalu kami berterimakasih kepada
mereka, dan meminta izin untuk masuk kedalam.” Iya silahkan, masuk aja, sambil
foto-foto juga gak apa-apa,”
Aroma stanggi yang memang sudah tercium sejak tadi bertambah
menyengat ketika kami perlahan masuk ke
dalam. Terlihat beberapa orang china tengah melakukan ritual peribadatannya
denga khusuk. Ada yang tengah membungkukkan kepala sembari memegang stanggi
berasap di depan patung dewa kepercayaan mereka. Beberapa orang melakukan hal
yang sama di patung yang berbeda di sebelahnya.
Kondisi di dalam vihara dipenuhi lilin merah dengan api menyala di
atasnya. Lilin-lilin itu mengelilingi patung dewa. Letak patung dewa dibuat
sedikit agak tinggi. Beberapa orang tampak memanjatkan doa dan harapan di
hadapan patung dewa itu. Sedang gaharu selalu menyala yang digenggamnya dengan
kedua belah tangannya.
Aku kembali menemui penjaganya lalu bertanya terkait peristiwa bom
molotov yang pernah melukai vihara. “bu bagaimana peribadatan di vihara pasca
ledakan yang sempat menggemparkan warga,? Tanya ku. “sebenarnya sekarang proses
peribadatan kembali berjalan lancar seperti sebelum-sebelumnya,”terangnya.
Wanita penjaga lanjut menambahkan, dan kondisi vihara sedang
aman-aman saja. Begitu juga dengan masyarakat, mereka tidak lagi merasa takut
ketika hendak beribadat di sini. “semoga saja keamanan di sini selalu terjaga,
dan jangan sampai kejadian seperti kemarin terulang kembali,” harapnya.
Lokasi pelemparan bom yang sempat melukai bangunan vihara terletak
di belakang vihara. Dan sekarang bekas lemparan itu sudah kembali pulih.
Setelah setengah jam kami mengitari sekeliling vihara, akhirnya
kami memohon izin untuk pulang kepada penjaga. Kami berterima kasih karena
telah diperkenankan untuk melihat-lihat ke dalam vihara. Satu hal yang saya
kagumkan adalah mereka tidak pernah menaruh rasa takut terhadap orang asing
dengan agama yang berbeda untuk masuk ke dalam rumah ibadah mereka. Padahal
sangat jelas ketika itu maolio sedang mengenakan baju gamis putih muslim, yang
melambangkan bahwam kami adalah dua orang muslim.
Ada banyak bentuk toleransi antar umat beragama di Kota Singkawang.
Tidak jauh-jauh, misalnya saja di kampung ku, Teluk Karang Kelurahan Sedau.
Malam itu di masjid Al-Muthalibin Rt.39 Rw.07 Teluk Karang
melaksanakan sholat terawih seperti biasanya. Namun sedikit berbeda dengan
terawih pada malam-malam lain. Malam ini merupakan malam ke 27 ramadhan. Setiap
tahunnya di kampung saya mengadakan tradisi malam tujuh likur pada tanggal
tersebut. Malam tujuh likur ialah tradisi turun-temurun masyarakat melayu dalam
menyambut h-3 sebelum lebaran Idul Fitri.
Bulan bersinar terang meski tidak bundar sempurna. Warga
berdatangan dengan membawa pasung. Pasung adalah makan has dalam tradisi ini.
Bentuknya kerucut diselimuti daun pisang. Ada beberapa yang membawa seteko air
kopi panas. Sholat isya dan terawih berjalan khusuk malam itu.
Selesai sholat terawih, warga didampingi tokoh agama dan ketua Rt
memulai rangkaian kegiatan. Rangkaian pertama ialah khataman Al-Qur’an. Anak-anak
dan remaja dewasa mengaji, mereka didampingi tokoh agama. Seiring
berlangsungnya khataman Al-Qur’an, sebagian dari warga khususnya ibu-ibu
menyiapkan kue yang mereka bawa tadi. Ada beberapa orang yang mulai berdatangan
ke masjid setelah sempat pulang ke rumah ketika selesai terawih. Mereka datang
dengan membawa kue, ada yang membawa teko berisi kopi panas.
Di antara warga yang datang, ada seorang warga beretnis china
dengan wajah malu-malu membawa seteko kopi panas. Seorang etnis china itu
merupakan teman salah seorang warga kampungku. Ia memang sudah akrab dengan
masyarakat melayu di kampungku.
Ia perlahan masuk ke dalam masjid.”permisi,” memegang teko berisi
kopi hangat yang dibawanya. Lalu ia pun disambut hangat oleh warga yang berada
dalam masjid. Begitu juga denganku, saat itu saya terkejut di tengah-tengah
obrolan dengan beberapa orang warga. Namun saya merasa kedatangannya ialah
untuk memberikan kopi hangatnya.
Kemudian warga menerima kopi hangatnya. Beberapa warga
mempersilahkannya untuk duduk terlebih dahulu sambil makan kue ditemani kopi
hangat.
“nah makan kue lah lok, dudok lok yo,” tawar salah seorang jamaah.
“maksih pak, ndak usah, saya buru-buru wa,” kata pria sipit itu dengan
senyuman. Setelah meberikan kopi hangatnya untuk warga di masjid, ia berpamitan
untuk pergi. “udah saya duluan, gak bisa lama-lama,” tuturnya sembari berjalan
menuju pintu dengan badan agak merendah, sedang kedua telapak tangannya menyatu dengan jari-jemari
yang merapat. sebagai simbol non verbal permohona maaf sekaligus permisi.
Seperti itulah salah satu bentuk hubungan antar masyarkat. Meskipun
berbeda agama, berbeda etnis dan berbeda budaya, keakraban antar sesama selalu
terjaga. Keharmonisan dalam kehidupan dapat dirasakan ketika kita saling
menghargai budaya masing-masing. Dengan tidak mempermasalahkan perbedaan
merupakan salah satu cara hidup masyarakat plural tetap akur.
Peristiwa bom molotov di Singkawang semoga menjadi pelajaran agar
masing-masing kita tidak mudah terprovokasi. Segala bentuk peristiwa yang
mencoba memecah kedamaian hendaklah diperangi bersama-sama.
Semoga kejadian serupa tidak terulang kembali. Karena hal tersebut
tidak hanya dapat merenggut nyawa, tetapi memiliki dampak yang sangat besar.
Kerugian berupa materi, rugi dalam waktu dan sebagainya.
Sampai detik ini kehidupan masyarakat di Kota Singkawang berjalan
harmonis. Toleransi umat beragama tercipta. Penduduk hidup rukun saling
menghargai agama masing-masing.
No comments:
Post a Comment