Add caption |
Almamater biru tampak rapi terpasang dibadan kami. Tanpa
berlama-lama lagi kami berenam langsung beranjak dari tempat penginapan kami.
pagi ini kami melakukan sosialisasi ke rt 2 rw 4 desa nusapati,. Dusun yang
hendak kami tuju ini tidak jauh dari tempat penginapan kami. seperti hari hari
sebelumnya, hari ini kami menuju dusun tersebut dengan jalan kaki.
Kami melewati jalan semen yang menjadi jalan utama
masyarakat di dusun ini. rumah rumah warga jaraknya berdempetan. Berjalan
menoleh kekanan dan kekiri mencari rumah
yang ingin dihampiri. Mata kami tertuju pada satu rumah yang berbeda
dengan yang lainnya. Ukuran nya lebih
kecil dari rumah disamping nya, rumah itu berdinding papan dan beratapkan daun,
Bangunannya juga tampak tidak tegap lagi. Pintu rumah itu terbuka sehingga kami yakin pasti ada orang
didalamnya. Tanpa banyak berpikir lagi, kami langsung menuju rumah itu.
“Assalamualikum.....” salam kami dari depan pintu rumah itu.
“Waalikum salam “ terdengar suara jawaban salam yang berasal dari dalam rumah
itu. aku melihat kearah jendela kamar yang
sedikit terbuka, tampak seorang kakek kakek yang merebahkan tubuhnya
untuk berdiri. Kakek kakek itu sepertinya kesulitan untuk berdiri, sehingga aku
merasa kedatangan kami hanya mengganggu kakek itu yang mungkin sedang
beristirahat. Tak lama kemudian kakek
itu keluar dari dalam kamarnya ,kakek itu tampak sangat sulit mengimbangi
tubuhnya ketika melangkah. Tidak ada baju yang tampak melekat dibadannya, hanya
kain sarung yang kakek itu kenakan. Mungkin karena beliau kepanasan karena
cuaca hari ini yang agak panas. Dengan
senyuman yang teraut dari wajahnya
beliau mempersilahkan kami masuk. Lalu kami pun melepas sepatu dan masuk
kedalam rumah kakek itu.
Kami menikmati
suasana damai dari dalam rumah itu. Kami duduk lesehan dilantai yang
beralaskan papan. Tidak tampak kursi sofa atau pun kursi-kursi kayu jati yang
biasanya tersusun rapi seperti rumah rumah orang-orang biasanya. Yang tampak
hanya lemari kayu tua di pojokan yang
mungkin umurnya sudah puluhan tahun dan sudah tidak layak dipakai lagi.
Dalam rumahnya itu
hanya ada beliau sendiri, ketika itu istrinya sedang bekerja disawah sejak tadi pagi. kakek itu
bernama bujang, usianya 68 tahun. Melihat kondisinya yang sangat memprihatinkan
kami mencoba untuk menanyakan lebih dekat tentang kehidupannya. Kakek bujang
telah menderita sakit sejak dua tahun yang lalu. Sehingga sekarang beliau tidak
mampu lagi bergerak seperti dahulu ketika masih sehat. Badannya terasa lumpuh,
tulangnya terasa nyilu apabila dibawa berdiri. Sehingga beliau sekarang tidak
dapat bekerja sepaerti dulu lagi. beliau
banyak menghabiskan waktu tua hanya di dalam rumah saja. Beruntung
beliau mempunyai sosok istri yang tangguh seprti nenek jainah. Nenek jainah adalah
wanita yang menjadi teman hidupnya untuk pertama dan tak akan pernah
tergantikan sampai akhir hayat mereka. Untuk menghidupi kehidupan mereka berdua
nenek jainah lah yang mencari nafkah selama dua tahun silam ini. kami terharu
mendengar cerita kehidupan kakek bujang yang sangat menyentuh hati kami. kami
bisa mengambil pelajaran dari cerita nya itu. Dan kami juga bisa belajar
bersyukur kepada Allah, kami menyadari bahwa banyak orang yang susah dari pada
kami. Dan kami selalu mengingat bahwa kehidupan itu berputar. Kadang kita
diatas dan kadang juga bisa dibawah. Tidak selamanya orang kaya akan kaya dan
tidak akan selamanya orang miskin akan tetap miskin. Dan yang paling utama
untuk diingat bahwa semua takdir ada pada Allah SWT.
matahari mulai
menyalakan panasnya, jam akan terus berputar tanpa berhenti satu detik pun.
Terdengar suara gaduh perempuan dari luar rumah. Kami tetap menyimak apa yang
di bicarakan kakek bujang sembari sambil menoleh-nolehkan pandangan ke arahr
pintu. Tak lama kemudian datanglah nenek
yang tua renta berjalan sambil melontarkan senyuman kepada kami.
perlahan di merebahkan diri untuk naik kedalam rumah. Dan ternyata itu adalah
nenek Jainah istri kakek Bujang yang baru pulang dari sawah. Keringatnya masih
bercucuran dari kulitnya, tampak hengas hengas mengelus nafas karena lelah yang
belum hilang usai dari sawah. Kami pun besalaman dan mencium tangan nenek
jainah. Nenek jainah duduk tepat di depan ku, dan beliau seolah-olah tau maksud
kedatangan kami kerumahnya itu untuk menanyakan kehidupan keluarganya. Tanpa
kami ertanya terlebih dahulu nenek jainah langsung menceritakan kehidupan
mereka.
Ini lah kehidupan
nenek yang lain dari pada yang lain. Rumah nenek dulunya disana dekat pantai.
Dulu ada bantuan inovasi rumah warga miskin, nama keluarga nenek terdaftar di
dalam bantuan itu. Namun nama nenek diletakkan terakhir. Jadi rumah orang orang
yang diurutan atas lah yang pertama direhab. Menunggu-menunggu dan menunggu,
sampai sekarang rumah nenek belum juga mendapatkan bantuan itu. Ntah kenapa
bantuan itu tidak kunjung datang ketangan nenek, nenek tak pernah tahu urusan
orang diatas sana. Nenek hanya bisa bersabar, nenek yakin segala yang terjadi
itu sudah menjadi takdir dari Allah SWt. Nenek yakin apa yang telah ditakdirkan
Allah kepada nenek akan menjadi milik nenek tanpa bisa dimiliki oleh orang
lain.
Bapak sakit sejak dua
tahun yang lalu, jadi nenek lah yang menggantikannya mencari nafkah. Nenek
biasanya mengambil upah ke sawah tetangga. itu pun tidak setiap hari, kadang
kadang tiga hari sekali dalam seminggu, kadang kadang dua kali seminggu. Satu
hari biasanya nenek di upah 20000. Jadi kalo dua hari itu 40000. Uang itu
sebagian nenek belikan ke beras dan keperluan dapur. Dan sebagiannya nenek
belikan ke obat untuk kakaek bujang yang biasanya sering pusing, lemah dan penyakit
yang lain. Jadi tak ada sisa uang nenek yang bisa disisihkan untuk ditabung.
Anak nenek berjumlah
empat orang , alhamdulillah semuanya sudah berumah tangga. Anak anak nenek
tinggal nya diluar kota. Mereka juga biasanya main ketempat nenek seminggu
sekali kadang kadang juga dua minggu sekali.
Kakek dan nenek tidak
mau tinggal bersama anak nenek karena nenek takut nenek dan kakek hanya
menyusahkan mereka. Dan anak anak kakek juga banyak memiliki keturunan jadi
nenek takut dirumah itu penuh dan tidak cukup kamar.
No comments:
Post a Comment