BAB II
PEMBAHASAN
Hukum batatalkah wudhu apabila bersentuhan dengan lawan jenis merupakan hukum yang menjadi perbedaan pendapat para Fuqaha (ahli fiqih). Perbedaan ini disebabkan karena pemahaman ulama
yang berbeda-beda mengenai penafsiran Al-Qur’an yang membahas hukum bersentuhan itu. Salah
satunya adalah QS. Maidah ayat 6:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُواإِذَاقُمْتُمْإِلَىالصَّلَاةِفَاغْسِلُواوُجُوهَكُمْوَأَيْدِيَكُمْإِلَىالْمَرَافِقِوَامْسَحُوابِرُءُوسِكُمْوَأَرْجُلَكُمْإِلَىالْكَعْبَيْنِوَإِنْكُنْتُمْجُنُبًافَاطَّهَّرُواوَإِنْكُنْتُمْمَرْضَىأَوْعَلَىسَفَرٍأَوْجَاءَأَحَدٌمِنْكُمْمِنَالْغَائِطِأَوْلَامَسْتُمُالنِّسَاءَفَلَمْتَجِدُوامَاءًفَتَيَمَّمُواصَعِيدًاطَيِّبًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); ...” (QS. Al Ma-idah:
6)
Yang dimaksud dengan kata لَامَسْتُمُالنِّسَاءَ diartikan dengan bersetubuh,
yaitu memasukkan dzakar ke dalam farji
(hubungan suami istri)[1]. Dari
ayat tersebut para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai penafsiran arti kata لَامَسْتُمُالنِّسَاءَ, ada ulama yang mengartikan kata
tersebut adalah bersentuhan biasa dan ada juga yang mengartikan dengan jima’
(hubungan suami isteri). Sehingga terjadilah perbedaan mengenai hukum
bersentuhan dengan lawan jenis, apakah hal tersebut membatalkan wudhu atau
tidak. Namun dalam perbedaan pendapat, para ulama fiqih masing-masing mempunyai
dalil dan alasan yang kuat dalam mempertahankan pendapatnya.
Menyentuh seseorang yang
dapat mengundang syahwat, baik ia wanita ataupun laki-laki muda. Para Fuqaha
menggunakan istilah اللمس terkadang khusus
dengan menggunakan tangan dan terkadang dengan menggunakan bagian anggota badan
selain tangan. Sedangkan المسّ adalah khusus menyentuh dengan tangan.
Masing-masing dari keduanya mempunyai ketentuan-ketentuan hukum tersendiri.
Mereka menggunakan istilah
yang sama antara hukum: المسّ dan اللمس (yang artinya adalah menyentuh). Berbeda halnya dengan
Malikiyah dan Hanafiyah, mereka menyebut hukum al-lamsu secara tersendiri dan
hukum al-massu secara tersendiri pula. Mereka mengkhususkan istilah al-massu
untuk sesuatu yang disentuh dengan tangan. Dan persoalan itu adalah mudah
(untuk kita pahami).
Menyentuh seseorang yang
dapat mengundang syahwat adalah membatalkan wudhu dengan beberapa syarat yang
terinci dalam pendapat berbagai madzhab.
A. Syafi’iyah
Mereka berpendapat bahwa
menyentuh wanita bukan mahram dapat membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun
tanpa merasakan nikmat, sekalipun laki-laki itu lemah, tua dan wanitanya lemah
tua juga dan tidak menarik. Inilah yang menjadi ketetapan dalam madzhab
Syafi’iyah, apakah orang yang menyentuh itu sudah tua ataupun masih usia muda[2].
Mungkin juga dikatakan
bahwa persoalan seorang wanita tua yang sudah lemah dan tidak menarik itu
adalah tidak adanya rasa nikmat dengan
menyentuhnya. Mereka menjawab bahwa selama wanita itu masih hidup maka tidak
akan hilang darinya rasa nikmat dengan menyentuhnya. Dan sentuhan itu dapat
membatalkan wudhu hanya apabila antara kulit yang menyentuh dan kulit yang
disentuh itu tidak ada batas penghalang. Bagi mereka cukup dengan menggunakan
batas penghalang yang tipis, sekalipun penghalangnya itu hanya berupa kotoran
dari debu yang bertumpuk, bukan dari air keringat.
Seorang laki-laki yang
menyentuh laki-laki lain tidaklah batal wudhunya, walaupun laki-laki yang
disentuh itu adalah seorang anak muda yang belum berjanggut dan tampan, akan
tetapi disunnatkan baginya untuk berwudhu. Dan tidak batal pula seorang wanita
yang menyentuh sejenisnya, begitu pula seorang banci yang menyentuh banci
lainnya ataupun ia menyentuh seorang
laki-laki atau seorang wanita. Wudhunya tidaklah batal apabila yang menyentuh
dan yang disentuh itu sampai mencapai batas syahwat bagi mereka yang mempunyai
tabi’at (kejiwaan) yang sehat.
Mereka (syafi’iyah)
memperkecualikan rambut, gigi dan kuku dari badan wanita. Jika menyentuh
(rambut, gigi dan kukunya) maka wudhu orang itu tidak batal, walaupun ia
merasakan nikmat dengan menyentuhnya itu. Karena yang menjadi persoalan dalam
menyentuh anggota tersebut adalah tidak adanya rasa nikmat. Mungkin juga
dikatakan bahwa gigi itu terdapat dalam mulut, sedangkan orang-orang suka
brcumbu gigi (dengan wanita) dan bahkan merasa lebih nikmat dari pada anggota
badan lainnya, lalu bagaimana dapat diterima akal bahwa dalam menyentuh itu
tidak terdapat rasa nikmat? Akan tetapi Syafi’iyah berpendapat jikalau orang
bersikap tidak peduli terhadap menyentuh mulut dan apa-apa yang berada
disekitar gigi, maka gigi tidak lain hanyalah sekedar tulang yang tidak dapat
menimbulkan rasa nikmat dengan menyentuhnya. Inilah yang dimaksud dengan
pengertian bahwa yang menjadi persoalan dalam menyentuh anggota tersebut adalah
tidak adanya rasa nikmat.
Wudhu itu dapat batal
dengan menyentuh mayat, dan tidak batal dengan menyentuh seorang wanita mahram,
yaitu wanita yang haram dinikahi untuk selama-lamanya karena adanya hubungan
nasab (keturunan) atau susuan atau karena pernikahan. Sedangkan wanita-wanita
yang tidak haram dinikahi selama-lamanya adalah seperti saudara perempuan
isteri (ipar perempuan), saudara perempuan dari pihak ayah isteri dan saudara
perempuan dari pihak ibu isteri (bibi isteri dari pihak ayah/ibu), maka apabila
menyentuh salah seorang dari mereka ini batallah wudhunya. Begitu pula wudhu
dapat batal dengan menyentuh wanita yang disetubuhi dengan subhat dan anak
perempuannya. Sekalipun menikahi keduanya itu adalah haram untuk selama-lamanya
akan tetapi haramnya itu bukan disebabkan karena nasab, bukan karena susuan dan
bukan pula karena pernikahan.
B. Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa
wudhu itu dapat batal disebabkan menyentuh wanita dengan syahwat tanpa ada
suatu penghalang. Tidak ada perbedaan antara wanita asing ataupun mahram, hidup
ataupun mati, tua ataupun muda, besar ataupun kecil..biasanya dapat mengundang
syahwat. Dalam hal itu laki-laki adalah sama dengan wanita, sehingga apabila
wanita itu menyentuh laki-laki maka batallah wudhunya dengan syarat-syarat
tersebut. Sentuhan itu tidaklah membatalkan wudhu kecuali apabila sentuhan itu
mengena sebagian dari anggota badan selain
rambut, gigi, dan kuku. Menyentuh ketiga hal tersebut (rambut, gigi dan
kuku) tidak membatalkan wudhu. Sedangkan yang disentuh, maka wudhunya tidak
batal walaupun ia merasakan nikmat.
Sedangkan sentuhan
seorang laki-laki terhadap laki-laki lain tidaklah membatalkan wudhu sekalipun
ia adalah seorang anak muda belum berjanggut dan tampan. Begitu pula seorang
wanita yang menyentuh wanita lainnya, dan seorang banci terhadap banci lainnya,
sekalipun yang menyentuh itu merasakan adanya suatu kenikmatan.
Dengan demikian kita
ketahui bahwa Hanabilah sependapat dengan Syafi’iyah, bahwa menyentuh seorang
wanita tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu, walaupun wanita itu adalah
seorang yang tua dan tidak berwajah menarik selama ia masih dapat mengundang
syahwat. Hanabilah berbeda dengan Syafi’iyah tentang menyentuh mahram.
Hanabilah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu secara
mutlak, hingga walaupunia menyentuh ibunya atau saudara perempuannya sendiri,
maka wudhunya batal dengan sentuhan itu. Dalam hal ini mereka berbeda dengan
Syafi’iyah. Dan mereka sepakat dengan Syafi’iyah bahwa sentuhan seorang
laki-laki terhadap laki-laki lainnya tidaklah membatalkan wudhu walaupunyang
disentuh adalah anak muda yang belum berjanggut dan tampan. Hanya saja
Syafi,iyah berkata bahwa baginya itu disunnatkan untuk berwudhu.
Mereka sepakat bahwa
menyentuh rambut, kuku dan gigi wanita tidaklah membatalkan wudhu. Mereka tidak
berbeda pendapat kecuali dalam beberapa rincian kecil yang telah disebutkan
oleh Syafi’iyah.
C. Malikiyah
Mereka berpendapat apabila seorang yang
mempunyai wudhu menyentuh orang lain dengan tangannya atau sebagian dari
badannya, maka wudhunya itu batal dengan beberapa syarat. Sebagian dari
syarat-syarat itu untuk pihak yang menyentuh dan sebagian lagi untuk pihak yang
disentuh(M. Ali Hasan. Hal 42)
Bagi yang menyentuh
disyaratkan hendaknya ia seorang yang baligh dan bermaksud untuk merasakan
kenikmatan atau ia merasakannya tanpa sengaja. Apabila ia bermaksud merasakan
kenikmatan, maka wudhunya itu batal walaupun ia belum betul-betul merasakan
kenikmatan dengan menyentuhnya.
Bagi yang disentuh
hendaknya ia dalam keadaan telanjang (tanpa penghalang) ataupun terhalang
dengan penghalang tipis. Jika penghalang itu tebal, maka wudhunya tidak batal
kecuali bila sentuhannya itu dengan cara memegang sebagian anggota badannya dan
bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakan kenikmatan itu (tanpa
maksud sengaja). Dan hendaknya yang disentuh itu adalah orang yang biasanya
mengundang syahwat. Maka wudhunya tidak batal dengan menyentuh wanita kecil
yang tidak mengundang syahwat, seperti gadis berusia lima tahun. Dan tidak pula
batal dengan menyentuh wanita tua yang laki-laki tidak butuh lagi padanya,
karena nafsu (syahwat) telah pudar darinya.
Di antara anggota
badan adalah rambut. Maka wudhu itu bisa batal dengan menyentuh rambut seorang
wanita, (yaitu) bila ia bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakan
adanya kenikmatan itu tanpa maksud sengaja. Sedangkan apabila wanita itu
menyentuh tangan laki-laki dengan rambutnya, maka wudhu wanita itu tidak batal.
Demikian juga wudhu itu tidak batal disebabkan karena persentuhan rambut
laki-laki dan rambut wanita , ataupun persentuhan antara kuku laki-laki dan
kuku wanita; karena biasanya pada keduanya itu tidak terdapat rasa. Dan telah
kita ketahui bahwa pokok persoalan dalam hal menyentuh adalah adanya maksud
untuk merasakan nikmat atau terasanya nikmat itu. Tidak ada perbedaan apakah
yang disentuh itu wanita asing, isteri, anak muda yang belum berjanggut ataukah
ia baru berjanggut yang biasanya dapat merasakannikmat dengan menyentuhnya.
Sedangkan apabila
wanita yang disentuh itu wanita mahram, seperti saudara perempuan, anak
perempuan dari saudara perempuan (ponakan perempuan), bibi dari pihak ayah atau
dari pihak ibu...dan menyentuhnya itu bersyahwat lalu bermaksud untuk merasakan
nikmat tetapi ia tidak merasakan kenikmatan itu, maka wudhunya itu tidaklah
batal hanya dengan sekedar bermaksud untuk merasakan nikmat. Berbeda halnya
apabila wanita itu orang asing (bukan mahram)
Yang termasuk
menyentuh adalah menyentuh mulut. Yang demikian itu adalah membatalkan wudhu
secara mutlak sekalipun ia tidak bermaksud untuk merasakan nikmat atau tidak
memperoleh nikmat itu, ataupun ia dipaksa untuk mengecup. Akan tetapi mengecup
tidaklah membatalkan wudhu apabila kecupan itu untuk perpisahan ataupun kecupan
kasih sayang. Dimana tujuan mengecup itu terdapat dalam dirinya tanpa untuk
memperoleh rasa nikmat. Jika ia memperoleh rasa nikmat, maka ia dapat
membatalkan wudhu.
Ini semua dipandang
dari pihak yang menyentuh. Sedangkan pihak yang disentuh, maka apabila ia
seorang yang baligh dan merasakan nikmat batallah wudhunya. Bila ia bermaksud
untuk merasakan nikmat, maka yang disentuh itu seperti halnya yang menyentuh
dan baginya berlaku hukum seperti yang terdahulu.
Demikianlah, dan
wudhu itu tidak batal dengan memikirkan (menghayalkan) atau memandang tanpa
menyentuh walaupun ia bermaksud untuk merasakan nikmat atau kenikmatan itu
terasa baginya (tanpa maksud sengaja), atau sampai menyebabkan dzakarnya
bangun. Maka apabila ia mengeluarkan madzi disebabkan karena mengkhayalkan atau
karena melihat, maka wudhunya batal karena keluarnya air madzi itu, dan jika ia
mengeluarkan air mani maka ia wajib mandi karena keluarnya air mani itu.
Jadi, yang menjadi
persoalan inti dalam madzhab Malik ini, adalah adanya rangsangan (syahwat),
baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh(M. Ali. Hasan. Hal 42)
D. Hanafiyah
.Hanafiyah berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan,
tidaklah membatalkan whudu. Hanafiyah mendasarkan madzhab mereka kepada Hadis
‘Aisyah:
قبّل رسول الله
صعم بعض نسائه ثم خرج الى الصلاة ولم يتوضا
Rasulullah mencium sebagian isteri-isterinya, lalu shalat
tanpa whudu’ lagi (HR. Ahmad dan
empat Ahli Hadits)[3].
Dikutip dari buku
Panduan Lengakap Shalat Empat Madzhab (Syeikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, hal 90)
Hanafiyah berpendapat, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu kecuali yang
dimaksud adalah sentuhan kelamin, yaitu adanya kontak antara dua kemaluan tanpa
adanya penghalang. Adapun sentuhan biasa saja tidak
membatalkan wudhu menurut mereka. Sebagaimana Hadis dari ‘Aisyah di atas.
Juga berdasarkan
hadits ‘Aisyah yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Menciumnya dan saat itu
beliau sedang puasa lalu beliau bersabda: Ciuman ini tidak membatalkan wudhu
dan tidak pula membatalkan puasa,” (Dikeluarkan oleh Ishak bin Rahmawaih dan
Bazzar)[4]
Mengenai Firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa’: 43 yang berbunyi:
او لمستم النساء
“Atau jika kamu
menyentuh wanita”
Maksudnya adalah
“bersenggama”, kata kiasan dari لامس (sentuh menyentuh). Pengertan ini diriwayatkan
dari Ali dan Ibnu Abbas berdasarkan berita dari ‘Ubaid bin Humaid, bahwa Ibnu
Abbas menafsirkan kata dalam ayat tersebut dengan “bersenggama=bersetubuh”(M.
Ali Hasan. Hal 41)
Mereka berpendapat
bahwa menyentuh dengan anggota badan yang manapun tidaklah membatalkan wudhu
walaupun yang menyentuh dan yang disentuh itu dalam keadaan telanjang . jika
ada seorang lelaki yang punya wudhu lalu ia tidur dengan isterinya di atas satu
ranjang sedangkan mereka berdua dalam keadaan telanjang dan berdempetan, maka
wudhu mereka itu tidak batal kecuali dalam dua hal:
Pertama :
dari mereka itu keluar sesuatu dalam bentuk madzi dan lain sebagainya.
Kedua : lakk-laki itu meletakkan alat
kemaluannya di atas alat kemaluan isterinya.
Hal itu dapat membatalkan wudhu laki-laki itu dengan dua
syarat:
(1)
Dzakar laki-laki itu tegang.
(2)
Tidak ada penghalang yang menghalangi panasnya badan.
Sedangkan wudhu
wanita itu dapat batal dengan sekedar berdempatan bila dzakar laki-laki itu
tegang. Bila misalnya wanita itu tidur dengan wanita lain dan berdempetan
dengan cara yang demikian, maka wudhu kedua wanita itu batal dengan sekedar
berdempetnya dua kemaluan satu sama lainnya, sedangkan kedua wanita itu dalam
keadaan telanjang. Berikut ini tinggal bentuk lainnya, yaitu berdempetnya seorang laki-laki dengan laki-laki lain dalam
keadaan telanjang. Sebagaimana yang kadang-kadang yang terjadi di kamar mandi
di saat kamar mandi itu sesak. Hukum dari hal ini adalah bahwa wudhu kedua
laki-laki itu tidak batal, kecuali apabila (dzakar) orang yang menyentuh itu
bangun tegak.
Dengan demikian
dapat diketahui bahwa Hanafiyah berbeda dengan seluruh Imam Madzhab lainnya
dalam hukum ini. Malikiyah menetapkan
batalnya wudhu itu berdasarkan adanya maksud untuk merasakan nikmat,
atau ia memperoleh kenikmatan itu (tanpa maksud sengaja). Mereka berbeda dengan
Syafi’iyah dan Hanabilah dalam hal menyentuh seorang wanita tua yang tidak
mengundang syahwat. Mereka berpendapat bahwa hal itu tidaklah membatalkan
wudhu, kecuali apabilaorang yang disentuh itu dalam keadaan telanjang (tanpa
penghalang) atau ia menggunakan penghalang yang tipis. Namun Malikiyah
berpendapat apabila yang disentuh itu memakai pakaian kemudian ada seorang yang
mempunyai wudhu menyentuh badannya dengan tangannya, maka wudhunya batal. Dan
mereka berbeda dalam hal menyentuh rambut.
·
Malikiyah: berpendapat apabila ada seorang laki-laki menyentuh seorang
rambut seorang wanita, maka wudhunya batal apabila ia bermaksud untuk merasakan
kenikmatan, atau ia merasakan kenikmatan itu (tanpa suatu maksud sengaja),
karena rambut itu tidak disangkal lagi termasuk salah satu anggota yang dapat
menimbulkan kenikmatan dengan menyentuhnya. Berbeda halnya apabila ada seorang
wanita yang menyentuh seorang lelaki
dengan rambutnya, maka wudhu wanita itu tidak lah batal, karena wudhunya
tidak dapat merasakan sesuatu dengan sentuhan itu[5].
·
Hanabilah dan Syafi’iyah: Mereka berpendapat bahwa menyentuh rambut itu
tidaklah membatalkan wudhu[6].
Apabila kita perhatikan pendapat keempat golongan tersebut di atas, maka
ternyata golongan Hanabilah amat ketat pendiriannya, karena dengan mahram pula
pun bila bersentuhan dapat membatalkan wudhu. Sebaliknya pendapat yang longgar
adalah pendapat Hanafiyah sebagaimana
kita lihat pada uraian di atas.
Kendatipun pendapat Hanafiyah kelihatannya longgar tetapi pada saat kita
melakukan ibadah haji, (thawaf), maka
pendapat inilah barangkali yang dapat menghindarkan kita dari kesulitan, karena
sukar menghindar dari persentuhan laki-laki dan wanita pada saat thawaf itu.
Bagi orang yang berpegang teguh pada Syafi’iyah, tentu ada alasan lain
untuk menghindar dari kesukaran itu, yaitu karena alasan darurat, (kesukaran
itu membolehkan hal-hal yang terlarang).
Kemudian bila kita perhatikan pendapat Malikiyah dan Hanabilah (walaupun
amat ketat) , maka juga banyak kebenarannya. Sebab, pada saat ini kita lihat
dan perhatikan dalam masyarakat ada orang yang tidak mengenal batas tua dan
muda, dalam kaitannya dengan rangsangan atau syahwat pada diri seorang. Apalagi
kita lihat banyak terjadi pelecehan
seksual terhadap mahram dan anak di bawah umur, baik laki-laki maupun
wanita.
Bila hal semacam ini kita kaitkan dengan ibadah (wudhu) maka faktor
rangsangan atau syahwat ini perlu direnungkan agar kita memasuki shalat dan
ibadah yang memerlukan wudhu, sudah siap dengan wudhu yang baik dan benar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan selesainya pembahasan di atas dapat kita pahami kesimpulan
dari beberapa pendapat yang sudah dipaparkan di atas. Masing-masing madzhab
tentunya memakai alasan yang sangat masuk akal dalam mempertahankan
pendapatnya.
Madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa
menyentuh wanita bukan mahram dapat membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun
tanpa merasakan nikmat, sekalipun laki-laki itu lemah, tua dan wanitanya lemah
tua juga dan tidak menarik. Mereka memperkecualikan kuku, gigi, dan rambut,
walaupun merasakan kenikmatan jika menyentuh salah satunya. Hanabilah
berpendapat bahwa wudhu itu dapat batal disebabkan menyentuh wanita dengan
syahwat tanpa ada suatu penghalang. Tidak ada perbedaan antara wanita asing
ataupun mahram, hidup ataupun mati, tua ataupun muda, besar ataupun kecil.
Sedangkan Malikiyah membagi dua syarat, yaitu bagi yang menyentuh hendaknya dia
dewasa dan bermaksud mencari kenikmatan. Syarat yang disentuh dia harus dalam
keadaan tanpa penghalang. Berbeda dengan Hanafiyah mereka berpendapat bahwa persentuhan
kulit laki-laki dengan perempuan, tidaklah membatalkan whudu.
Mereka berpegang pada hadis Aisyah ra.
B. Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah ini
sesungguhnya penulis banyak mengutip referensi dari buku yang mungkin
pengarangnya tidak mengetahui hal ini. Makalah
ini juga masih banyak terdapat kekurangan dari segi penulisan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis bisa lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri Abdurrahman. 2002. “Fiqh
Empat Madzhab”. Jakarta: Darul Ulum Press
Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi. 2007.
“Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab”. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
M. Ali Hasan. 2000. “Perbandingan
Madzhab Fiqh”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sabiq Sayyid. 1973. “Fikih Sunnah
I”. Bandung: PT Alma’arif
Al-Sayh Muhammad. 2011.”Nayl
al-Awtor”. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah
[1] Lihat Abdurrahman. Nailul Autor min Ahadisi Saidul Ahya jus 1-2. Ha
214
[2] Lihat Abdurrahman Al-Jaziri. Fiqih Empat Madzhab. Hal 174
[3] Lihat M. Ali Hasan. Perbandingan Madzhab Fiqh. Hal 40
[4] Lihat Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah. Hal 118
[5] Lihat Abdurrahman.Fiqh Empat Madzhab. Hal 181
[6] Lihat Abdurrahman.Fiqh Empat Madzhab. Hal 181
No comments:
Post a Comment