Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]

BAB II
PEMBAHASAN
Hukum batatalkah wudhu apabila bersentuhan dengan lawan jenis merupakan hukum yang menjadi perbedaan pendapat para Fuqaha (ahli fiqih). Perbedaan ini disebabkan karena pemahaman ulama yang berbeda-beda mengenai penafsiran Al-Qur’an yang membahas hukum bersentuhan itu. Salah satunya adalah QS. Maidah ayat 6:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُواإِذَاقُمْتُمْإِلَىالصَّلَاةِفَاغْسِلُواوُجُوهَكُمْوَأَيْدِيَكُمْإِلَىالْمَرَافِقِوَامْسَحُوابِرُءُوسِكُمْوَأَرْجُلَكُمْإِلَىالْكَعْبَيْنِوَإِنْكُنْتُمْجُنُبًافَاطَّهَّرُواوَإِنْكُنْتُمْمَرْضَىأَوْعَلَىسَفَرٍأَوْجَاءَأَحَدٌمِنْكُمْمِنَالْغَائِطِأَوْلَامَسْتُمُالنِّسَاءَفَلَمْتَجِدُوامَاءًفَتَيَمَّمُواصَعِيدًاطَيِّبًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); ...” (QS. Al Ma-idah: 6)
Yang dimaksud dengan kata لَامَسْتُمُالنِّسَاءَ diartikan dengan bersetubuh, yaitu memasukkan dzakar ke dalam  farji (hubungan suami istri)[1]. Dari ayat tersebut para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai penafsiran arti kata لَامَسْتُمُالنِّسَاءَ, ada ulama yang mengartikan kata tersebut adalah bersentuhan biasa dan ada juga yang mengartikan dengan jima’ (hubungan suami isteri). Sehingga terjadilah perbedaan mengenai hukum bersentuhan dengan lawan jenis, apakah hal tersebut membatalkan wudhu atau tidak. Namun dalam perbedaan pendapat, para ulama fiqih masing-masing mempunyai dalil dan alasan yang kuat dalam mempertahankan pendapatnya.
            Menyentuh seseorang yang dapat mengundang syahwat, baik ia wanita ataupun laki-laki muda. Para Fuqaha menggunakan istilah اللمس terkadang khusus dengan menggunakan tangan dan terkadang dengan menggunakan bagian anggota badan selain tangan. Sedangkan المسّ  adalah khusus menyentuh dengan tangan. Masing-masing dari keduanya mempunyai ketentuan-ketentuan hukum tersendiri.
            Mereka menggunakan istilah yang sama antara hukum: المسّ dan اللمس (yang artinya adalah menyentuh). Berbeda halnya dengan Malikiyah dan Hanafiyah, mereka menyebut hukum al-lamsu secara tersendiri dan hukum al-massu secara tersendiri pula. Mereka mengkhususkan istilah al-massu untuk sesuatu yang disentuh dengan tangan. Dan persoalan itu adalah mudah (untuk kita pahami).
            Menyentuh seseorang yang dapat mengundang syahwat adalah membatalkan wudhu dengan beberapa syarat yang terinci dalam pendapat berbagai madzhab.
A.        Syafi’iyah
Mereka berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram dapat membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat, sekalipun laki-laki itu lemah, tua dan wanitanya lemah tua juga dan tidak menarik. Inilah yang menjadi ketetapan dalam madzhab Syafi’iyah, apakah orang yang menyentuh itu sudah tua ataupun masih usia muda[2].
Mungkin juga dikatakan bahwa persoalan seorang wanita tua yang sudah lemah dan tidak menarik itu adalah tidak adanya  rasa nikmat dengan menyentuhnya. Mereka menjawab bahwa selama wanita itu masih hidup maka tidak akan hilang  darinya rasa nikmat  dengan menyentuhnya. Dan sentuhan itu dapat membatalkan wudhu hanya apabila antara kulit yang menyentuh dan kulit yang disentuh itu tidak ada batas penghalang. Bagi mereka cukup dengan menggunakan batas penghalang yang tipis, sekalipun penghalangnya itu hanya berupa kotoran dari debu yang bertumpuk, bukan dari air keringat.
Seorang laki-laki yang menyentuh laki-laki lain tidaklah batal wudhunya, walaupun laki-laki yang disentuh itu adalah seorang anak muda yang belum berjanggut dan tampan, akan tetapi disunnatkan baginya untuk berwudhu. Dan tidak batal pula seorang wanita yang menyentuh sejenisnya, begitu pula seorang banci yang menyentuh banci lainnya ataupun ia menyentuh  seorang laki-laki atau seorang wanita. Wudhunya tidaklah batal apabila yang menyentuh dan yang disentuh itu sampai mencapai batas syahwat bagi mereka yang mempunyai tabi’at (kejiwaan) yang sehat.
Mereka (syafi’iyah) memperkecualikan rambut, gigi dan kuku dari badan wanita. Jika menyentuh (rambut, gigi dan kukunya) maka wudhu orang itu tidak batal, walaupun ia merasakan nikmat dengan menyentuhnya itu. Karena yang menjadi persoalan dalam menyentuh anggota tersebut adalah tidak adanya rasa nikmat. Mungkin juga dikatakan bahwa gigi itu terdapat dalam mulut, sedangkan orang-orang suka brcumbu gigi (dengan wanita) dan bahkan merasa lebih nikmat dari pada anggota badan lainnya, lalu bagaimana dapat diterima akal bahwa dalam menyentuh itu tidak terdapat rasa nikmat? Akan tetapi Syafi’iyah berpendapat jikalau orang bersikap tidak peduli terhadap menyentuh mulut dan apa-apa yang berada disekitar gigi, maka gigi tidak lain hanyalah sekedar tulang yang tidak dapat menimbulkan rasa nikmat dengan menyentuhnya. Inilah yang dimaksud dengan pengertian bahwa yang menjadi persoalan dalam menyentuh anggota tersebut adalah tidak adanya rasa nikmat.
Wudhu itu dapat batal dengan menyentuh mayat, dan tidak batal dengan menyentuh seorang wanita mahram, yaitu wanita yang haram dinikahi untuk selama-lamanya karena adanya hubungan nasab (keturunan) atau susuan atau karena pernikahan. Sedangkan wanita-wanita yang tidak haram dinikahi selama-lamanya adalah seperti saudara perempuan isteri (ipar perempuan), saudara perempuan dari pihak ayah isteri dan saudara perempuan dari pihak ibu isteri (bibi isteri dari pihak ayah/ibu), maka apabila menyentuh salah seorang dari mereka ini batallah wudhunya. Begitu pula wudhu dapat batal dengan menyentuh wanita yang disetubuhi dengan subhat dan anak perempuannya. Sekalipun menikahi keduanya itu adalah haram untuk selama-lamanya akan tetapi haramnya itu bukan disebabkan karena nasab, bukan karena susuan dan bukan pula karena pernikahan.
B.        Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa wudhu itu dapat batal disebabkan menyentuh wanita dengan syahwat tanpa ada suatu penghalang. Tidak ada perbedaan antara wanita asing ataupun mahram, hidup ataupun mati, tua ataupun muda, besar ataupun kecil..biasanya dapat mengundang syahwat. Dalam hal itu laki-laki adalah sama dengan wanita, sehingga apabila wanita itu menyentuh laki-laki maka batallah wudhunya dengan syarat-syarat tersebut. Sentuhan itu tidaklah membatalkan wudhu kecuali apabila sentuhan itu mengena sebagian dari anggota badan selain  rambut, gigi, dan kuku. Menyentuh ketiga hal tersebut (rambut, gigi dan kuku) tidak membatalkan wudhu. Sedangkan yang disentuh, maka wudhunya tidak batal walaupun ia merasakan nikmat.
Sedangkan sentuhan seorang laki-laki terhadap laki-laki lain tidaklah membatalkan wudhu sekalipun ia adalah seorang anak muda belum berjanggut dan tampan. Begitu pula seorang wanita yang menyentuh wanita lainnya, dan seorang banci terhadap banci lainnya, sekalipun yang menyentuh itu merasakan adanya suatu kenikmatan.
Dengan demikian kita ketahui bahwa Hanabilah sependapat dengan Syafi’iyah, bahwa menyentuh seorang wanita tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu, walaupun wanita itu adalah seorang yang tua dan tidak berwajah menarik selama ia masih dapat mengundang syahwat. Hanabilah berbeda dengan Syafi’iyah tentang menyentuh mahram. Hanabilah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu secara mutlak, hingga walaupunia menyentuh ibunya atau saudara perempuannya sendiri, maka wudhunya batal dengan sentuhan itu. Dalam hal ini mereka berbeda dengan Syafi’iyah. Dan mereka sepakat dengan Syafi’iyah bahwa sentuhan seorang laki-laki terhadap laki-laki lainnya tidaklah membatalkan wudhu walaupunyang disentuh adalah anak muda yang belum berjanggut dan tampan. Hanya saja Syafi,iyah berkata bahwa baginya itu disunnatkan untuk berwudhu.
Mereka sepakat bahwa menyentuh rambut, kuku dan gigi wanita tidaklah membatalkan wudhu. Mereka tidak berbeda pendapat kecuali dalam beberapa rincian kecil yang telah disebutkan oleh Syafi’iyah.
C.        Malikiyah
 Mereka berpendapat apabila seorang yang mempunyai wudhu menyentuh orang lain dengan tangannya atau sebagian dari badannya, maka wudhunya itu batal dengan beberapa syarat. Sebagian dari syarat-syarat itu untuk pihak yang menyentuh dan sebagian lagi untuk pihak yang disentuh(M. Ali Hasan. Hal 42)
Bagi yang menyentuh disyaratkan hendaknya ia seorang yang baligh dan bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakannya tanpa sengaja. Apabila ia bermaksud merasakan kenikmatan, maka wudhunya itu batal walaupun ia belum betul-betul merasakan kenikmatan dengan menyentuhnya.
Bagi yang disentuh hendaknya ia dalam keadaan telanjang (tanpa penghalang) ataupun terhalang dengan penghalang tipis. Jika penghalang itu tebal, maka wudhunya tidak batal kecuali bila sentuhannya itu dengan cara memegang sebagian anggota badannya dan bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakan kenikmatan itu (tanpa maksud sengaja). Dan hendaknya yang disentuh itu adalah orang yang biasanya mengundang syahwat. Maka wudhunya tidak batal dengan menyentuh wanita kecil yang tidak mengundang syahwat, seperti gadis berusia lima tahun. Dan tidak pula batal dengan menyentuh wanita tua yang laki-laki tidak butuh lagi padanya, karena nafsu (syahwat) telah pudar darinya.
Di antara anggota badan adalah rambut. Maka wudhu itu bisa batal dengan menyentuh rambut seorang wanita, (yaitu) bila ia bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakan adanya kenikmatan itu tanpa maksud sengaja. Sedangkan apabila wanita itu menyentuh tangan laki-laki dengan rambutnya, maka wudhu wanita itu tidak batal. Demikian juga wudhu itu tidak batal disebabkan karena persentuhan rambut laki-laki dan rambut wanita , ataupun persentuhan antara kuku laki-laki dan kuku wanita; karena biasanya pada keduanya itu tidak terdapat rasa. Dan telah kita ketahui bahwa pokok persoalan dalam hal menyentuh adalah adanya maksud untuk merasakan nikmat atau terasanya nikmat itu. Tidak ada perbedaan apakah yang disentuh itu wanita asing, isteri, anak muda yang belum berjanggut ataukah ia baru berjanggut yang biasanya dapat merasakannikmat dengan menyentuhnya.
Sedangkan apabila wanita yang disentuh itu wanita mahram, seperti saudara perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan (ponakan perempuan), bibi dari pihak ayah atau dari pihak ibu...dan menyentuhnya itu bersyahwat lalu bermaksud untuk merasakan nikmat tetapi ia tidak merasakan kenikmatan itu, maka wudhunya itu tidaklah batal hanya dengan sekedar bermaksud untuk merasakan nikmat. Berbeda halnya apabila wanita itu orang asing (bukan mahram)
Yang termasuk menyentuh adalah menyentuh mulut. Yang demikian itu adalah membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun ia tidak bermaksud untuk merasakan nikmat atau tidak memperoleh nikmat itu, ataupun ia dipaksa untuk mengecup. Akan tetapi mengecup tidaklah membatalkan wudhu apabila kecupan itu untuk perpisahan ataupun kecupan kasih sayang. Dimana tujuan mengecup itu terdapat dalam dirinya tanpa untuk memperoleh rasa nikmat. Jika ia memperoleh rasa nikmat, maka ia dapat membatalkan wudhu.
Ini semua dipandang dari pihak yang menyentuh. Sedangkan pihak yang disentuh, maka apabila ia seorang yang baligh dan merasakan nikmat batallah wudhunya. Bila ia bermaksud untuk merasakan nikmat, maka yang disentuh itu seperti halnya yang menyentuh dan baginya berlaku hukum seperti yang terdahulu.
Demikianlah, dan wudhu itu tidak batal dengan memikirkan (menghayalkan) atau memandang tanpa menyentuh walaupun ia bermaksud untuk merasakan nikmat atau kenikmatan itu terasa baginya (tanpa maksud sengaja), atau sampai menyebabkan dzakarnya bangun. Maka apabila ia mengeluarkan madzi disebabkan karena mengkhayalkan atau karena melihat, maka wudhunya batal karena keluarnya air madzi itu, dan jika ia mengeluarkan air mani maka ia wajib mandi karena keluarnya air mani itu.
Jadi, yang menjadi persoalan inti dalam madzhab Malik ini, adalah adanya rangsangan (syahwat), baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh(M. Ali. Hasan. Hal 42)
D.        Hanafiyah
.Hanafiyah berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan, tidaklah membatalkan whudu. Hanafiyah mendasarkan madzhab mereka kepada Hadis ‘Aisyah:
قبّل رسول الله صعم بعض نسائه ثم خرج الى الصلاة ولم يتوضا
Rasulullah mencium sebagian isteri-isterinya, lalu shalat tanpa whudu’ lagi (HR. Ahmad dan empat Ahli Hadits)[3].
Dikutip dari buku Panduan Lengakap Shalat Empat Madzhab (Syeikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, hal 90) Hanafiyah berpendapat, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu kecuali yang dimaksud adalah sentuhan kelamin, yaitu adanya kontak antara dua kemaluan tanpa adanya penghalang. Adapun sentuhan biasa saja tidak membatalkan wudhu menurut mereka. Sebagaimana Hadis dari ‘Aisyah di atas.
Juga berdasarkan hadits ‘Aisyah yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Menciumnya dan saat itu beliau sedang puasa lalu beliau bersabda: Ciuman ini tidak membatalkan wudhu dan tidak pula membatalkan puasa,” (Dikeluarkan oleh Ishak bin Rahmawaih dan Bazzar)[4]
Mengenai Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’: 43 yang berbunyi:
او لمستم النساء
“Atau jika kamu menyentuh wanita”
Maksudnya adalah “bersenggama”, kata kiasan dari لامس  (sentuh menyentuh). Pengertan ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas berdasarkan berita dari ‘Ubaid bin Humaid, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata dalam ayat tersebut dengan “bersenggama=bersetubuh”(M. Ali Hasan. Hal 41)
Mereka berpendapat bahwa menyentuh dengan anggota badan yang manapun tidaklah membatalkan wudhu walaupun yang menyentuh dan yang disentuh itu dalam keadaan telanjang . jika ada seorang lelaki yang punya wudhu lalu ia tidur dengan isterinya di atas satu ranjang sedangkan mereka berdua dalam keadaan telanjang dan berdempetan, maka wudhu mereka itu tidak batal kecuali dalam dua hal:
Pertama           : dari mereka itu keluar sesuatu dalam bentuk madzi dan lain sebagainya.
Kedua             : lakk-laki itu meletakkan alat kemaluannya di atas alat kemaluan isterinya.
Hal itu dapat membatalkan wudhu laki-laki itu dengan dua syarat:
(1)   Dzakar laki-laki itu tegang.
(2)   Tidak ada penghalang yang menghalangi panasnya badan.
Sedangkan wudhu wanita itu dapat batal dengan sekedar berdempatan bila dzakar laki-laki itu tegang. Bila misalnya wanita itu tidur dengan wanita lain dan berdempetan dengan cara yang demikian, maka wudhu kedua wanita itu batal dengan sekedar berdempetnya dua kemaluan satu sama lainnya, sedangkan kedua wanita itu dalam keadaan telanjang. Berikut ini tinggal bentuk lainnya, yaitu berdempetnya  seorang laki-laki dengan laki-laki lain dalam keadaan telanjang. Sebagaimana yang kadang-kadang yang terjadi di kamar mandi di saat kamar mandi itu sesak. Hukum dari hal ini adalah bahwa wudhu kedua laki-laki itu tidak batal, kecuali apabila (dzakar) orang yang menyentuh itu bangun tegak.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Hanafiyah berbeda dengan seluruh Imam Madzhab lainnya dalam hukum ini. Malikiyah menetapkan  batalnya wudhu itu berdasarkan adanya maksud untuk merasakan nikmat, atau ia memperoleh kenikmatan itu (tanpa maksud sengaja). Mereka berbeda dengan Syafi’iyah dan Hanabilah dalam hal menyentuh seorang wanita tua yang tidak mengundang syahwat. Mereka berpendapat bahwa hal itu tidaklah membatalkan wudhu, kecuali apabilaorang yang disentuh itu dalam keadaan telanjang (tanpa penghalang) atau ia menggunakan penghalang yang tipis. Namun Malikiyah berpendapat apabila yang disentuh itu memakai pakaian kemudian ada seorang yang mempunyai wudhu menyentuh badannya dengan tangannya, maka wudhunya batal. Dan mereka berbeda dalam hal menyentuh rambut.
·         Malikiyah: berpendapat apabila ada seorang laki-laki menyentuh seorang rambut seorang wanita, maka wudhunya batal apabila ia bermaksud untuk merasakan kenikmatan, atau ia merasakan kenikmatan itu (tanpa suatu maksud sengaja), karena rambut itu tidak disangkal lagi termasuk salah satu anggota yang dapat menimbulkan kenikmatan dengan menyentuhnya. Berbeda halnya apabila ada seorang wanita yang menyentuh seorang lelaki  dengan rambutnya, maka wudhu wanita itu tidak lah batal, karena wudhunya tidak dapat merasakan sesuatu dengan sentuhan itu[5].
·         Hanabilah dan Syafi’iyah: Mereka berpendapat bahwa menyentuh rambut itu tidaklah membatalkan wudhu[6].
Apabila kita perhatikan pendapat keempat golongan tersebut di atas, maka ternyata golongan Hanabilah amat ketat pendiriannya, karena dengan mahram pula pun bila bersentuhan dapat membatalkan wudhu. Sebaliknya pendapat yang longgar adalah pendapat Hanafiyah  sebagaimana kita lihat pada uraian di atas.
Kendatipun pendapat Hanafiyah kelihatannya longgar tetapi pada saat kita melakukan  ibadah haji, (thawaf), maka pendapat inilah barangkali yang dapat menghindarkan kita dari kesulitan, karena sukar menghindar dari persentuhan laki-laki dan wanita pada saat thawaf itu.
Bagi orang yang berpegang teguh pada Syafi’iyah, tentu ada alasan lain untuk menghindar dari kesukaran itu, yaitu karena alasan darurat, (kesukaran itu membolehkan hal-hal yang terlarang).
Kemudian bila kita perhatikan pendapat Malikiyah dan Hanabilah (walaupun amat ketat) , maka juga banyak kebenarannya. Sebab, pada saat ini kita lihat dan perhatikan dalam masyarakat ada orang yang tidak mengenal batas tua dan muda, dalam kaitannya dengan rangsangan atau syahwat pada diri seorang. Apalagi kita lihat banyak terjadi pelecehan  seksual terhadap mahram dan anak di bawah umur, baik laki-laki maupun wanita.
Bila hal semacam ini kita kaitkan dengan ibadah (wudhu) maka faktor rangsangan atau syahwat ini perlu direnungkan agar kita memasuki shalat dan ibadah yang memerlukan wudhu, sudah siap dengan wudhu yang baik dan benar.





BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
            Dengan selesainya pembahasan di atas dapat kita pahami kesimpulan dari beberapa pendapat yang sudah dipaparkan di atas. Masing-masing madzhab tentunya memakai alasan yang sangat masuk akal dalam mempertahankan pendapatnya.
Madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram dapat membatalkan wudhu secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat, sekalipun laki-laki itu lemah, tua dan wanitanya lemah tua juga dan tidak menarik. Mereka memperkecualikan kuku, gigi, dan rambut, walaupun merasakan kenikmatan jika menyentuh salah satunya. Hanabilah berpendapat bahwa wudhu itu dapat batal disebabkan menyentuh wanita dengan syahwat tanpa ada suatu penghalang. Tidak ada perbedaan antara wanita asing ataupun mahram, hidup ataupun mati, tua ataupun muda, besar ataupun kecil. Sedangkan Malikiyah membagi dua syarat, yaitu bagi yang menyentuh hendaknya dia dewasa dan bermaksud mencari kenikmatan. Syarat yang disentuh dia harus dalam keadaan tanpa penghalang. Berbeda dengan Hanafiyah mereka berpendapat  bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan, tidaklah membatalkan whudu. Mereka berpegang pada hadis Aisyah ra.
B.        Kritik dan Saran
            Dalam penulisan makalah ini sesungguhnya penulis banyak mengutip referensi dari buku yang mungkin pengarangnya tidak mengetahui hal ini. Makalah ini juga masih banyak terdapat kekurangan dari segi penulisan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis bisa lebih baik kedepannya.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri Abdurrahman. 2002. “Fiqh Empat Madzhab”. Jakarta: Darul Ulum Press
Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi. 2007. “Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab”. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
M. Ali Hasan. 2000. “Perbandingan Madzhab Fiqh”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sabiq Sayyid. 1973. “Fikih Sunnah I”. Bandung: PT Alma’arif
Al-Sayh Muhammad. 2011.”Nayl al-Awtor”. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah





[1] Lihat Abdurrahman. Nailul Autor min Ahadisi Saidul Ahya jus 1-2. Ha 214
[2] Lihat Abdurrahman Al-Jaziri. Fiqih Empat Madzhab. Hal 174
[3] Lihat M. Ali Hasan. Perbandingan Madzhab Fiqh. Hal 40
[4] Lihat Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah. Hal 118
[5] Lihat Abdurrahman.Fiqh Empat Madzhab. Hal 181
[6] Lihat Abdurrahman.Fiqh Empat Madzhab. Hal 181

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib