Sebuah pondok di tepi pantai yang tetap berdiri walau kadang diterjang keras ombak dan angin kencang |
Ketika keringat
mulai bercucuran membasahi pakaian. Kaki terhenti dari berlari karena merasa
sudah begitu lelah menapaki jalan, menemani menghirup udara segar pagi hari
itu. Embun pagi masih terasa mendinginkan tubuh, namun perlahan embun tampaknya
mulai menipis. Kaki melangkah menuju pantai yang begitu indah pagi itu.
Di sebuah pantai
yang terdapat batuan yang terhampar lalu saya berdiri di atasnya. Lokasi tempat
saya berdiri disebut dengan nama Tanjung Karang oleh masyarakat setempat.
Berdiri
menikmati indahnya pantai kala matahari mulai merangkak menampakkan bias cahaya
indahnya. Suara alam menambah hangatnya suasana, debur ombak, kicauan
burung-burung, deru angin. Belum lagi hijaunya
gunung-gunung yang mengelilingi pantai.
Ketika tengah-tengah
menikmati keindahan yang terhampar, pandangan saya tertuju pada sebuah pondok
seyok di tepi pantai. Jaraknya sekitar 100 meter dari tempat saya berdiri.
Sepintas otak saya mulai membuka memori yang terekam dua tahun lalu. Benar
saja, pondok itu mengingatkan saya ketika masa sma dulu bersama dua orang
sahabat gila, namanya Ghozi dan Rafi. Kami pernah melalui hari di sana. Bukan sekedar
hari tapi sebuah kisah.
Kemudian seluruh
badan saya sepakat tergerak menuju pondok di tepi pantai itu. Kaki melangkah,
melompati bebatuan yang bentuknya tak karuan. Dengan berhati-hati saya melewati
batuan-batuan basah terkena percikian air laut yang menghempas karang di tepian
badannya.
Setelah melewati
batuan, saya dihadapkan dengan pasir putih yang terhampar luas di tepi pantai
yang akan saya lalui untuk menuju ke pondok itu. Melompati anak sungai yang
mengalir ke laut dan melangkah lagi di atas pasir putih. Riak air mengalir dari
darat menuju laut untuk menyatu. Sesekali pasir putih membenamkan kaki saya
sampai mata kaki. Seperti ada sebuah tarikan dari dalam pasir yang begitu
lembut itu.
Pohon kelapa berbaris
melambai-lambai di tepi pantai pagi itu. Dedaunannya mengalunkan suara alam
yang indah. Burung-burung berkicau seakan menyambut kehadiran saya. Debur ombak
silih berganti menghiasi pantai yang masih dirundung udara alami. Kemudian kaki
saya terhenti lagi, mata saya menatap ke depan. Tepat di depan saya masih
berdiri pondok yang saya sebut seyok di dalam hati dari tadi.
Sejenak berdiam
diri sambil menatapi kayu-kayu penyanggah yang masih membuat pondok seyok tetap
berdiri kokoh. Walau keadaannya sedikit miring ke arah laut, namun pondok tidak
pernah roboh. Walau setiap detik diterjang ombak, diterpa angin, diterjang
badai pondok tetap kokoh. Melihat secara nyata apa yang benar-benar dialami
pondok seyok itu membuat saya sejenak berfikir. Sebuah filosofi kehidupan yang
bisa dijadikan sebagai penyemangat kehidupan. Sebuah pondok yang tidak memiliki
bagian-bagian bangunan yang sempurna, tidak ada tembok, hanya ada kayu
penyanggah dan atap, sampai saat ini
masih berdiri kokoh walaupun dihantam ombak, angin badai setiap waktu. Artinya
adalah bahwa orang yang tidak memiliki kaki adalah orang yang masih bisa
berdiri. Seseorang yang tunanetra tidak menutup kemungkinan masih bisa membaca.
Selama seseorang masih memiliki kemampuan untuk melampaui batas dirinya, kekurangan
adalah kekuatan yang membantu proses pelampauan itu. Yakinlah bahwa Tuhan
menganugerahkan segala sesuatu kepada manusia beriringan dengan hikmah untuk
manusia tersendiri. Seseorang yang tidak dapat berbicara, mungkin saja memiliki
hikmah agar dia tidak mempunyai banyak dosa karena mulutnya. Mungkin saja jika
dia diberi kemampuan berbicara nantinya dia tidak menggunakan mulutnya kepada
kebaikan dan malah lebih kepada arah kejelekan. Membicarakan aib orang,
mengejek, memfitnah dan lain-lain.
Pondok reyok
mengajarkan banyak motivasi untuk menghadapi dinamika kehidupan. Diantaranya,
ia mengajarkan bagaimana bertahan dan berusaha tetap berdiri walau kaki
diterjang, walau kaki dihantam supaya goyang.
Sementara sinar
surya perlahan meninggi melampaui gunung-gunung di arah timur. Pondok seyok
mempunyai kisah tentang kami bertiga dulu semasa SMA. Di saat mata pelajaran
kosong, kami bertiga, saya, Ghozi dan Yayan keluar kelas. Berkumpul di pohon
rindang di depan halaman. Berdiskusi selama beberapa menit, dan dapatlah
tujuan. Hasil yang biasanya dicapai adalah sepakat untuk pergi ke pantai sambil
membawa bermacam makanan ringan. Salah satu tempat yang kami jadikan sebagai
tempat kami bersantai ialah pondok reyot itu. Dulu kami tidak memanggilnya
dengan sebutan pondok reyot, karena dulu kondisi pondok itu masih bagus,
seperti bangunan yang berdiri kokoh pada umumnya. Dindingnya masih lengkap
ketika itu. Kayu-kayu penyanggahnya juga masih tegak berdiri. Atapnya tidak ada
yang bolong. Lantainya beralas papan di bagian atas. Dulu juga terdapat kamar
mandi dan wc di pondok itu. Sehingga kami nyaman sekali menikmati angin segar
di sana. Tepat di lantai atas yang berlantai papan kami duduk dengan banyak
makanan ringan sebagai bekal kami. Kami berbagi cerita, bergurau dengan sungguh
gembira. Tidak hanya itu, kesempatan itu juga sebagai wadah kami untuk saling
sharing permasalahan-permasalahan yang ada di benak kami masing-masing. Tidak hanya
sekedar luput dari gurau dan sharing saja, kami juga berdiskusi di sana tentang
problem-problem kehidupan atau suatu hal yang sedang hangat di dunia.
Banyak hal yang
masih tersimpan di kepala saya jika masih mau mengingat kisah kami di pondok
seyok itu. Semoga sahabat saya masih mengingat kisah itu.
Kamudian waktu
terus berputar, bumi semakin menerang. Burung-burung camar bertebangan di atas
laut mencari ikan. Ini petanda saya harus pulang, meninggalkan pondok reyot.
No comments:
Post a Comment