Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]

Sebuah pondok di tepi pantai yang tetap berdiri walau kadang diterjang keras ombak dan angin kencang

Ketika keringat mulai bercucuran membasahi pakaian. Kaki terhenti dari berlari karena merasa sudah begitu lelah menapaki jalan, menemani menghirup udara segar pagi hari itu. Embun pagi masih terasa mendinginkan tubuh, namun perlahan embun tampaknya mulai menipis. Kaki melangkah menuju pantai yang begitu indah pagi itu.
Di sebuah pantai yang terdapat batuan yang terhampar lalu saya berdiri di atasnya. Lokasi tempat saya berdiri disebut dengan nama Tanjung Karang oleh masyarakat setempat.
Berdiri menikmati indahnya pantai kala matahari mulai merangkak menampakkan bias cahaya indahnya. Suara alam menambah hangatnya suasana, debur ombak, kicauan burung-burung, deru angin. Belum lagi hijaunya  gunung-gunung yang mengelilingi pantai.
Ketika tengah-tengah menikmati keindahan yang terhampar, pandangan saya tertuju pada sebuah pondok seyok di tepi pantai. Jaraknya sekitar 100 meter dari tempat saya berdiri. Sepintas otak saya mulai membuka memori yang terekam dua tahun lalu. Benar saja, pondok itu mengingatkan saya ketika masa sma dulu bersama dua orang sahabat gila, namanya Ghozi dan Rafi. Kami pernah melalui hari di sana. Bukan sekedar hari tapi sebuah kisah.
Kemudian seluruh badan saya sepakat tergerak menuju pondok di tepi pantai itu. Kaki melangkah, melompati bebatuan yang bentuknya tak karuan. Dengan berhati-hati saya melewati batuan-batuan basah terkena percikian air laut yang menghempas karang di tepian badannya.
Setelah melewati batuan, saya dihadapkan dengan pasir putih yang terhampar luas di tepi pantai yang akan saya lalui untuk menuju ke pondok itu. Melompati anak sungai yang mengalir ke laut dan melangkah lagi di atas pasir putih. Riak air mengalir dari darat menuju laut untuk menyatu. Sesekali pasir putih membenamkan kaki saya sampai mata kaki. Seperti ada sebuah tarikan dari dalam pasir yang begitu lembut itu.
Pohon kelapa berbaris melambai-lambai di tepi pantai pagi itu. Dedaunannya mengalunkan suara alam yang indah. Burung-burung berkicau seakan menyambut kehadiran saya. Debur ombak silih berganti menghiasi pantai yang masih dirundung udara alami. Kemudian kaki saya terhenti lagi, mata saya menatap ke depan. Tepat di depan saya masih berdiri pondok yang saya sebut seyok di dalam hati dari tadi.
Sejenak berdiam diri sambil menatapi kayu-kayu penyanggah yang masih membuat pondok seyok tetap berdiri kokoh. Walau keadaannya sedikit miring ke arah laut, namun pondok tidak pernah roboh. Walau setiap detik diterjang ombak, diterpa angin, diterjang badai pondok tetap kokoh. Melihat secara nyata apa yang benar-benar dialami pondok seyok itu membuat saya sejenak berfikir. Sebuah filosofi kehidupan yang bisa dijadikan sebagai penyemangat kehidupan. Sebuah pondok yang tidak memiliki bagian-bagian bangunan yang sempurna, tidak ada tembok, hanya ada kayu penyanggah dan  atap, sampai saat ini masih berdiri kokoh walaupun dihantam ombak, angin badai setiap waktu. Artinya adalah bahwa orang yang tidak memiliki kaki adalah orang yang masih bisa berdiri. Seseorang yang tunanetra tidak menutup kemungkinan masih bisa membaca. Selama seseorang masih memiliki kemampuan untuk melampaui batas dirinya, kekurangan adalah kekuatan yang membantu proses pelampauan itu. Yakinlah bahwa Tuhan menganugerahkan segala sesuatu kepada manusia beriringan dengan hikmah untuk manusia tersendiri. Seseorang yang tidak dapat berbicara, mungkin saja memiliki hikmah agar dia tidak mempunyai banyak dosa karena mulutnya. Mungkin saja jika dia diberi kemampuan berbicara nantinya dia tidak menggunakan mulutnya kepada kebaikan dan malah lebih kepada arah kejelekan. Membicarakan aib orang, mengejek, memfitnah dan lain-lain.
Pondok reyok mengajarkan banyak motivasi untuk menghadapi dinamika kehidupan. Diantaranya, ia mengajarkan bagaimana bertahan dan berusaha tetap berdiri walau kaki diterjang, walau kaki dihantam supaya goyang.
Sementara sinar surya perlahan meninggi melampaui gunung-gunung di arah timur. Pondok seyok mempunyai kisah tentang kami bertiga dulu semasa SMA. Di saat mata pelajaran kosong, kami bertiga, saya, Ghozi dan Yayan keluar kelas. Berkumpul di pohon rindang di depan halaman. Berdiskusi selama beberapa menit, dan dapatlah tujuan. Hasil yang biasanya dicapai adalah sepakat untuk pergi ke pantai sambil membawa bermacam makanan ringan. Salah satu tempat yang kami jadikan sebagai tempat kami bersantai ialah pondok reyot itu. Dulu kami tidak memanggilnya dengan sebutan pondok reyot, karena dulu kondisi pondok itu masih bagus, seperti bangunan yang berdiri kokoh pada umumnya. Dindingnya masih lengkap ketika itu. Kayu-kayu penyanggahnya juga masih tegak berdiri. Atapnya tidak ada yang bolong. Lantainya beralas papan di bagian atas. Dulu juga terdapat kamar mandi dan wc di pondok itu. Sehingga kami nyaman sekali menikmati angin segar di sana. Tepat di lantai atas yang berlantai papan kami duduk dengan banyak makanan ringan sebagai bekal kami. Kami berbagi cerita, bergurau dengan sungguh gembira. Tidak hanya itu, kesempatan itu juga sebagai wadah kami untuk saling sharing permasalahan-permasalahan yang ada di benak kami masing-masing. Tidak hanya sekedar luput dari gurau dan sharing saja, kami juga berdiskusi di sana tentang problem-problem kehidupan atau suatu hal yang sedang hangat di dunia.
Banyak hal yang masih tersimpan di kepala saya jika masih mau mengingat kisah kami di pondok seyok itu. Semoga sahabat saya masih mengingat kisah itu.
Kamudian waktu terus berputar, bumi semakin menerang. Burung-burung camar bertebangan di atas laut mencari ikan. Ini petanda saya harus pulang, meninggalkan pondok reyot.



No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib